Sabtu, 25 September 2010

JANGAN LARI DARI UJIAN HIDUP

Rosululloh SAW bersabda“  Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ‎ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, ‎barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang ‎murka, maka baginya kemurkaan Allah.”

Sabda Rasulullah saw. ini termktub dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini ‎dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap ‎Bencana”.‎

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari ‎Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke ‎Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.‎


Ingat, hidup adalah tempatnya ujian dan cobaan.‎
Dalam roda kehidupan manusia tentunya tidak terlepas yang namanya ujian dan ‎cobaan dari Alloh Ta'ala untuk membuktikan sejauh mana kadar keimanan seorang ‎hamba kepada alloh ta'ala. Apakah mereka benar-benar beriman atau sebaliknya. ‎Seperti firman alloh ta'ala dalam surat al-ankabut ayat 2-3‎
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ‎ ‎يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ(2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ‎ ‎مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا ‏وَلَيَعْلَمَنَّ‎ ‎الْكَاذِبِينَ (3)‏
Artinya," Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‎‎"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?(3) Dan sesungguhnya Kami ‎telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah ‎mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang ‎yang dusta.(QS al-ankabut : 2-3)‎

Begitu juga firman Alloh Ta'ala dalam surat Al-Anbiya' ayat 35‎
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya," Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan ‎‎(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan"‎

Seorang pakar tafsir yang bernama ibnu katsier mengomentari ayat diatas dalam kitab ‎tafsir Qur'nul 'adzim, beliau berkata," Sesungguhnya Alloh ta'ala akan menguji kepada ‎manusia kadang-kadang dengan beberapa musibah dan kadang-kadang dengan ‎kenikmatan. Kemudian alloh akan melihat diantara manusia,siapa saja yang mau ‎bersyukur atau mengkufuri akan nikmat yang telah diberikannya, dan siapa yang mau ‎bersabar atas musibah yang telah meimpanya atau bahkan keluh kesah terhadapnya. ‎


Perlu Kacamata Positif

Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi ‎kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup ‎anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun ‎tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. ‎Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit ‎yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda ‎lagi.‎


Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. ‎Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai ‎buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ‎ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. ‎Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”‎


Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa ‎sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan ‎berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua ‎kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. ‎Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan ‎sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, ‎kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada ‎orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)‎

Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan ‎menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, ‎Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? ‎Mardhotillah. Keridhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat ‎Rasulullah saw. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.‎


Yang Manis Terasa Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ‎ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup ‎dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang ‎dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi ‎makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih ‎gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.‎
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak ‎menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu ‎pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa ‎kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu ‎manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai ‎bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.‎
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ‎ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup ‎dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.‎

‎“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu ‎pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan ‎kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat ‎pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan ‎orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) ‎syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)‎


Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan ‎mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu ‎sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.‎

Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan ‎halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah ‎dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah ‎rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat ‎bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.‎


Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi ‎Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar ‎sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf ‎berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak ‎mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin ‎berubah buat selama-lamanya.‎
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam ‎kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya ‎perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan ‎berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang ‎mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah swt. ‎dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! ‎Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan ‎hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah ‎swt.‎
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. ‎Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai ‎membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat ‎Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. ‎Athabrani)‎

Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang ‎bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati ‎berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul ‎pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 ‎dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya ‎sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”‎


Jadi, jangan lari dari ujian hidup!‎

0 komentar:

Posting Komentar