Dianggap perlunya permasalahan ini untuk dikaji ulang secara obyektif. Maka dalam hal ini penulis berusaha mencoba memaparkan data dan fakta yang ada. Kemudian menguraikannya ke dalam sebuah bentuk makalah, yang semoga menjadikan tulisan ini dapat dipahami secara bersama dan dapat dipertimbangkan sesuai kadar yang dikandung didalamnya. Dan tentunya hal itu diharapkan tidaklah keluar dalam bingkaian sumber hukum al Quran dan as Sunnah. Wallahua'lam.
Memakan daging anjing adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama. Hal ini sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh beberapa dalil berikut ini :
1. Anjing termasuk hewan buas bertaring yang haram untuk dimakan.
Mayoritas ulama sepakat akan keharaman binatang buas yang bertaring kuat, dengannya ia menyerang mangsanya dan menundukkannya, kecuali anjing laut. Ini adalah pendapat; imam Malik, asy Syafi’i, Abu Tsaur, Ashhabul Hadits dan Abu Hanifah serta sahabat-sahabatnya.
Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam beberapa hadits rasulullah saw :
عَنْ أَبِي إِدرِيس الخَوْلانِي عَنْ أَبِي ثَعْلَبَة الخُشَنِي أَنَّ رَسولَ اللهِ صلَى اللهُ عليهِ وَسلَمَ نَهى عَنْ أَكْلِ كُل ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ
Dari Abu Idris al Khaulani dari Abi Tsa’labah al Khusyani Radiyallahu'anhu (ia berkata), “Sesungguhnya Rasulullah n melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring”.
عَنْ مَيْمُون بنِ مَهْرَان عَنْ ابنِ عَبَاس قاَلَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَليه وَسَلَمَ عَنْ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِباَعِ، وَكُل ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَيْرِ
Dari Maimun bin Mahran dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah n melarang memakan setiap bintang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar (buas).
عَنْ عُبَيْدَة بنِ سُفْيَان الحَضْرَمِي عن أبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: (( أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ))
Dari Ubaidah bin Sufyan dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, (ia berkata) sesungguhnya Rasulullah n bersabda, “Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata;
هَذَا حَدِيثٌ ثَابِتٌ صَحِيحٌ مُجْمَعٌ عَلَى صِحَّتِهِ .
“ Ini adalah hadits yang tsabit, shahih dan telah disepakati akan keshahihannya (oleh para ulama') ".
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Mughny :
َهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ يَخُصُّ عُمُومَ الْآيَاتِ ، فَيَدْخُلُ فِي هَذَا الْأَسَدُ ، وَالنَّمِرُ ، وَالْفَهْدُ ، وَالذِّئْبُ ، وَالْكَلْبُ ، وَالْخِنْزِيرُ .
"Dan hadits ini adalah Nash yang sharih (jelas), yang (juga) mengkhususkan dari keumuman ayat (قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ) , maka macam hewan yang ada didalam petunjuk hadits ini mencakup singa, macan tutul, macan kumbang, srigala, anjing dan babi (atau beberapa hewan lainnya yang memiliki kriteria dalam hadits tersebut,-pen)" .
Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa' menyebutkan suatu pendapat yang menunjukkan bahwa hewan tersebut haram menurutnya, yaitu pendapat yang diucapkan beliau setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah diatas. Beliau berkata:
وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا
"Demikian pula halnya (haram) menurut kami."
2. Petunjuk diharamkannya jual beli anjing. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sabdanya :
ثمَنُ الكَلْبِ خَبِيْثٌ وَمَهْرُ البَغْيِ خَبِيْثٌ وَحلوَانُ الكَاهِنِ خَبِيْثٌ
" Uang hasil jual beli anjig adalah kotor, uang bayaran pelacur adalah kotor, dan upah seorang peramal adalah kotor ".
عَنْ أَبِي مَسْعُود الأَ نْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (( أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمنِ الكَلْبِ وَمَهرِ البَغْيِ وَحلوَان الكَاهِنِ))
Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radiyallahu 'anhu (ia berkata)," Sesungguhnya Rasulullah n melarang memakan hasil dari jual beli anjing, uang bayaran pelacur dan upah seorang peramal."
Sehingga kalau harganya/jual belinya terlarang, maka dagingnya pun haram untuk dimakan. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka (Allah) haramkan harganya (jual beli) atas mereka”.
3. Petunjuk diharamkannya memelihara (memiliki) anjing.
Karena memeliharanya akan mengurangi pahala pemeliharanya setiap hari. Bila memakan daging anjing dibolehkan maka memeliharanya tentu diperbolehkan, namun dikecualikan anjing berburu, penjaga kebun, dan penjaga ternak.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah n :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( مَنْ اتَّخَذَ كَلْباً إِلَّا كَلبِ صَيْد أَوْ زَرع أَوْ مَاشِية نتقصُ مِنْ أَجْرِهِ كُل يَوْم قِيْرَاط))
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, telah bersabda Rasulullah n : “Barang siapa memelihara anjing, selain anjing untuk memburu, penjaga kebun atau penjaga ternak, maka berkurang pahalannya disetiap hari satu qirath” .
عَنْ سُفْيَان بْنِ أَبِي زُهَيْر الشَنَائِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: (( مَنْ اقنَى كَلْباً لاَ يغْني عَنْهُ زَرعاً وَلاَ ضرعاً نقص مِنْ عَمَلِهِ كُل يَوْم قِيْرَاط))
Dari Sufyan bin Abu Zuhair Asy Syana’iy Radiyallahu 'anhu berkata," Aku mendengar Rasulullah n bersabda : “Barangsiapa yang memelihara anjing bukan untuk dijadikan sebagai penjaga kebun atau untuk berburu maka berkurang pahala (orang yang memeliharanya) disetiap hari satu qirath” .
Dalam lafadz yang lain dari Ibnu Umar :
نقص كُل يَوْم قِيْرَاطَانِ
“Berkurang pahalanya setiap hari dua qirath” .
4. Perintah Rasulullah n untuk membunuh anjing.
عَنْ ابنِ عُمَر (( أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الكِلاَبِ إِلاَّ كَلْبِ صَيْدٍ أَوْ كلبِ مَاشِيَةٍ))
Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma (ia berkata), " sesungguhnya Rasulullah n memerintahkan untuk membunuh anjing, kecuali anjing untuk memburu atau anjing untuk menjaga ternak."
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: (( أَمَرَناَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِقَتْلِ كُل الكِلاَبِ حَتَّى أَنّ المَرْأَةَ تقدم مِنِ البَادِيَةِ بِكَلْبِهَا فَنَقْتُلُهُ ثُمّ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ قَتْلِهاَ وَقَالَ عَلَيْكُمْ باِلأَسْوَدِ البَهِيْمِ ذِي النُقْطَتَيْنِ فَإِنّه شَيْطَانٌ))
Dari Jabir radhiallahuanhu berkata : Rasulullah ` memerintahkan kepada kami untuk membunuh seluruh anjing. Bahkan ketika seorang wanita badui datang dengan seekor anjingnya kamipun membunuh anjing tersebut, kemudian Rasulullah melarang untuk membunuhnya dan bersabda: “Bunuhlah anjing yang hitam pekat, yang memiliki dua titik, karena sesungguhnya ia adalah syaitan."
Syubhat dan Bantahannya
Pertama : Ada sebagian ulama yang berpendapat tentang halalnya atau mubahnya setiap binatang buas yang bertaring (anjing contohnya dalam hal ini). Ini adalah pendapat Asy Sya’bi, Said bin Zubair dan sebagian Madzhab Maliki, mereka berpegang dengan beberapa hujjah berikut ini :
a) Firman allah dalam beberapa surat, diantaranya :
- Surat al An'am ayat 145 :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
" Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
- Surat an Nahl ayat 115 :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
- Surat al Baqarah ayat 173 :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dari ketiga ayat diatas mereka katakan :
1. Hewan yang diharamkan allah swt dalam ayat-ayat tersebut hanyalah terbatas empat saja, yaitu : bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa dalam surat al Baqarah : 173 dan an Nahl : 115 disana terdapat kata إنّما yang berkedudukan sebagai alat pembatasَ أدَاةُ الحَصْرِ ) ), dan ini menunjukkan bahwa hanya hewan tersebut saja yang diharamkan oleh allah swt.
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه
Dengan alasan, bahwa sunnah/hadits tidak bisa mengkhususkan ayat yang umum yang telah di takhsish dengan firman allah selanjutnya dalam ayat tersebut, yaitu kelanjutan firman-Nya yang berbunyi :
....إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه.....
Atau dengan ayat lainnya dalam surat al Baqarah : 173 dan surat an Nahl :115.
Kami jawab :
1) Bahwa surat an An'am dan an Nahl adalah surat Makiyah, yaitu surat yang diturunkan di Mekkah tatkala beliau rasulullah ` belum hijrah ke madinah. Dan diturunkannya ayat-ayat ini untuk menolak orang-orang jahiliyah dalam mengharamkan bahiirah (unta yang dibelah telinganya), saa'ibah (unta yang dilepaskan pada zaman jahiliyyah untuk suatu nadzar dan lainnya), washilah (anak domba jantan yang lahir kembar dengan betina) serta haami (unta untuk penjagaan yang diberikan untuk berhala). Dan menghalalkan bangkai dan yang lainnya, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Selain itu ayat ini diturunkan untuk menjelaskan kepada mereka bahwa mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram adalah suatu cara yang salah yang salah dan dugaan yang batal. Sehingga tidak ayal jika ketika itu Allah memutuskan bahwa yang diharamkan hanya empat binatang saja.
Kemudian setelah beliau hijrah ke madinah (ketika itu kondisi umat islam mulai mapan), maka allah menurunkan lagi beberapa wahyu dalam al quran maupun sunnah rasul ` tentang hewan-hewan apa saja yang diharamkan, sebagai wahyu tambahan dari hewan-hewan yang telah diharamkan sebelumnya. Semisal surat al maidah : 3 dan beberapa hadits rasulullah saw yang menjelaskan tentang haramnya hewan-hewan selain 4 kriteria hewan dalam ayat-ayat diatas. Misalnya ; setiap hewan buas yang mempunyai taring (dalam hal ini anjing contohnya), setiap burung yang mempunyai cakar dan yang lainnya.
Sehingga dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya ayat-ayat tersebut memberitahukan bahwa pada waktu itu (sebelum hijrah di makkah) tidak ada yang diharamkan selain empat perkara tersebut. Namun kemudian setelah beliau hijrah ke madinah allah menurunkan lagi beberapa wahyu dalam al quran maupun sunnah rasul saw tentang hewan-hewan apa saja yang diharamkan, sebagai wahyu tambahan dari hewan-hewan yang telah diharamkan sebelumnya.
2) Sedangkan mengenai firman Allah dalam surat al Baqarah : 173, walaupun ia merupakan madaniyah (yang turun ketika beliau telah hijrah ke Madinah) namun ketika itu beliau Rasulullah ` belum lama tinggal di madinah. Atau mungkin beliau telah lama tinggal di Madinah namun Allah l belum menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah , tentang tambahan hewan yang diharamkan selain ke empat binatang tersebut pada mulanya. Yakni ayat ke-3 dari surat al Maidah dan beberapa hadits beliau .
3) Firman Allah l dalam surat al Maidah : 3 yang berbunyi ;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Sebenarnya dari ayat ini pun terjadi kontradiksi (apabila kita hubungkan dengan dhahir ayat-ayat diatas). Yaitu kalau memang yang diharamkan hanya empat hewan saja, mengapa allah swt juga mengharamkan setiap hewan yang tercekik, yang di pukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam hewan buas serta yang disembelih untuk berhala ?.
Abu Umar Ibn Abdil Barr menambahkan, bahwa konsekuensi bagi mereka yang mengatakan,"tidak adanya hewan yang diharamkan kecuali apa yang telah tersebut dalam ayat tersebut …" adalah mereka menghalalkan hewan yang di sembelih tanpa menyebut nama allah secara sengaja dan menghalalkan khamr, padahal ini telah di sepakati keharamannya oleh para ulama.
Imam Ibnu katsir rahimahullah dalam kitabnya Tafsir al Quranul 'Adzim, ketika menjelaskan penafsiran dari surat al An'am : 145 beliau katakan, " sehingga apa saja yang telah disebutkan dalam surat al Maidah (ayat ke-3) dan dalam beberapa petunjuk hadits yang ada (yakni perihal haramnya beberapa jenis makanan yang tidak hanya terbatas empat jenis binatang), telah mengangkat/menggugurkan pemahaman ayat ini (dari yang diharamkan hanya empat jenis binatang saja menjadi bertambah lebih dari itu)."
4) Adapun pernyataan mereka yang kedua, ini perlu di koreksi kembali, karena :
• Berbagai alasan dari jawaban/bantahan kami pada ketiga point diatas.
• Kalau dinyatakan bahwa ayat tersebut umum sehingga tidak bisa dikhususkan lagi dengan hadits-hadits Rasulullah yang jelas keshahihannya, dan mencukupkan diri dengan kelanjutan firman allah tersebut dalam surat al an'am atau dalam ayat yang lain sebagai pengkhusus, maka pernyataan ini adalah bathil tak berdasar. Tidakkah kita lihat bagaimana pandangan ushuliyyun (ahli ushul fiqh) dalam menyikapi pengkhususan al Quran dengan as Sunnah ?.
Dan perlu diketahui, bahwa memang benar al Quran adalah wahyu pertama yang tidak bisa diganggu gugat lagi ke-qath'iyannya/kepastiannya. Namun demikian hal itu tidak bisa menafikan as sunnah/ hadits rasulullah begitu saja, walaupun ia merupakan wahyu kedua setelah al Quran. Hal ini karena as sunnah memiliki kedudukan yang sangat tinggi terhadap al Quran. Yaitu sebagai tabyinul quran/penjelas baginya. Dan salah satu dari bentuk tabyinul quran adalah takhshishul quran (mengkhuskan nash al quran jika dianggap itu bersifat umum).
Kemudian dalam menyikapi sunnah sebagai pentakhshish al Quran/al Kitab ini, mereka (ahli ushul fiqh) telah bersepakat bahwa apabila hadits/sunnah tersebut kedudukannya mutawatir maka hal itu di perbolehkan. Adapun jika berkedudukan sebagai hadits ahad maka jumhur ulama' pun membolehkannya secara mutlaq . Ibnu al 'Araby rahimahullah secara tegas menyatakan, "mereka telah bersepakat bahwa diperbolehkannya sunnah mentakhsish al quran apabila derajatnya shahih". Sehingga apabila derajatnya dha'if maka ia tidak diperbolehkan.
Dr Wahbah az Zuhaily dalam memberikan contoh permasalahan ini, beliau sebutkan tentang hadits :
عَنْ مَيْمُون بنِ مَهْرَان عَنْ ابنِ عَبَاس قاَلَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَليه وَسَلَمَ عَنْ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِباَعِ، وَكُل ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَيْرِ
Dari Maimun bin Mahran dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah n melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar (buas).
Bahwa hadits diatas mentakhsish atas keumuman (potongan) ayat dalam surat al An'am : 145, yang berbunyi :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه
Sehingga dari penjelasan diatas tidak di sangsikan lagi bahwa sunnah dapat mentakhsish al quran. Terlebih hadits yang berkenaan dengan masalah haramnya memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar (buas) telah disepakati keshahihannya oleh para ulama'.
Dan kami katakan bahwa jika potongan surat al An'am :145 adalah bersifat umum, dan hal itu di takhsish dengan firman allah selanjutnya atau pada ayat lainnya (al Baqarah :173 dan an Nahl : 115), serta tidak ada nash yang mentakhsish lagi kecuali ini, hal itu karena pada waktu itu beliau masih di Mekkah (belum hijrah). Sedangkan setelah beliau hijrah ke Madinah maka hal itu di tambah lagi pengkhususannya melalui diturunkannya wahyu surat al Maidah : 3 dan beberapa hadits Rasulullah yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama'. Wallahua'lam.
b) Mereka berhujjah dengan pendapat Imam Malik dan khabar para sahabat, diantaranya Ibn Abbas, Ibn Umar dan 'Aisyah yang mengatakan tentang halalnya memakan hewan-hewan tersebut, dengan alasan atas keumuman (potongan) firman allah surat an-Naml : 145 (أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا ).
Kami Jawab :
1. Dalam hal ini perlu di teliti kembali keabsahan riwayat yang menyatakan bahwa Imam Malik menghalalkan hewan-hewan tersebut. Karena kalaupun hal ini benar, tentu ini sangat bertentangan dengan pernyataan imam malik sendiri secara shahih dalam kitab beliau "Al Muwaththa'", yang mana beliau menyatakan suatu pendapat yang menunjukkan bahwa hewan tersebut haram. Hal ini ketika beliau mengomentari dan menjelaskan petunjuk hukum yang ada dalam hadits Abu Hurairah diatas yang berbunyi :
أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ
“Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.
Beliau katakan :
وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا
"Demikian pula halnya (haram) menurut kami."
Imam al Qurtuby berkata, " dan menurut fuqahaul amshar (ahli fiqh yang hidup dalam masing-masing kawasan/daerah yang mereka tinggali) diantaranya Imam Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Abdul Malik menyatakan bahwa memakan setiap hewan buas yang bertaring adalah haram".
Lebih dari itu Syeikh Abdurahman Al Jaziry dalam kitabnya Al Fiqh Ala Madhahibil Arba'ah menegaskan bahwa tidak ada seorang ulama' pun dari Malikiyah (madhab imam malik) yang menghalalkan hewan anjing, paling tidak mereka terbagi menjadi dua pendapat dalam menyikapi status hewan ini. Yaitu mereka yang memakruhkan dan yang mengharamkanya Dan itu pun pendapat kedualah yang paling masyhur. Bahkan mereka (malikiyah) mengatakan :
"Perlunya diberi pelajaran/sanksi bagi mereka yang berani menisbatkan bahwa Imam Malik menghalalkan hewan tersebut".
2. Adapun mengenai khabar tersebut, diantara lafadznya ialah sebagaimana berikut ini :
رَوَي عَنْ ابنِ عُمَر أنه سُئِلَ عَن لَحُوْمِ السِبَاعِ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِهاَ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia ditanya tentang hukum daging binatang buas, maka beliau katakan," hal itu tidak apa-apa"
قَالَ القَاسِمِ: كَانَتْ عَائِشَة تَقُولُ لمَاَ سَمِعَتْ النَاسَ يَقُولُوْنَ حرم كل ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ: ذَا لِكَ حَلاَلٌ، وَتَتْلُوا هذه الآيَةِ " قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْمَا أُوحِيَ إِلَىَّ مُحَرَّماً "
Berkata Qasim : " Ketika 'Aisyah mendengar para sahabat mengatakan bahwa haramnya setiap hewan buas yang bertaring, maka ia berkata, " itu adalah halal", kemudian ia mengucapkan ayat " قُل لاَ أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلى مُحَرَماً
عَنْ ابنِ عَبَاس قَالَ : لَيْسَ شَيْء مِنَ الدَوَابِّ حَرَامٌ إِلاّ مَا حرّم الله فِي كِتَابِهِ : { قُل لا أَجِدُ فِيمَا أُوْحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا }
Dari Ibnu Abbas ia berkata, " tidak ada satu pun dari binatang melata yang haram kecuali yang telah diharamkan Allah dalam firman-Nya :
قُل لا أَجِدُ فِيمَا أُوْحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا "
Sedangkan mengenai kedudukan dari khabar diatas, Abu Umar Bin Abdil Barr memberikan komentar sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar Al 'Asqalany dalam kitabnya Fathul Barri Syarh Shahih Al Bukhary, bahwa jalur periwayatannya adalah lemah/dhaif.
Imam asy syaukany lebih menegaskan lagi dengan perkataannya,"dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan 'Aisyah bahwasanya tidak ada yang diharamkan kecuali yang telah telah disebutkan dalam ayat ini (surat An Naml : 145), dan hal itu diriwayatkan pula dari imam malik, namun perkataan ini gugur/lemah".
Dan telah kita ketahui bersama bahwa hadits/khabar yang dhaif tidak bisa dijadikan landasan hukum dalam permasalahan yang sifatnya amaliyah.
Sehingga dari kedua penjelasan diatas, kalaupun benar bahwa Imam Malik mengatakan tentang kehalalannya dan jalur periwayatan khabar para sahabat tersebut shahih ataupun hasan maka tetap tidak bisa di jadikan hujjah karena mereka berlandaskan dengan keumuman firman allah surat Al An'am : 145, yang membatasi haramnya hewan hanya empat saja. Dan bantahan tentang syubhat ini telah kami sebutkan diatas.
Kedua : Ada pula sebagian ulama yang menghukuminya (setiap binatang buas yang bertaring, anjing contohnya dalam hal ini) sebatas makruh tanzih (makruh yang tidak sampai haram) saja, tidak haram dan tidak halal. Mereka beralasan dengan menjama'/mengumpulkan petunjuk hukum yang ada dalam (potongan) firman allah surat Al 'Anam : 145 yang bersifat umum (أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا ), yang kemudian ditakhsis (di khususkan) dengan hadits Rasulullah yang bersifat larangan (karena disana menggunakan lafadz "naha"), yang berbunyi :
عَنْ أَبِي إِدْرِيس الخَوْلاَنِي عَنْ أَبِي ثَعْلَبَة الخُشَني أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُل ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ
Dari Abu Idris al Khaulani dari Abi Tsa’labah al Khusyani Radiyallahu 'anhu; “Sesungguhnya Rasulullah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring”.
Kami Jawab :
Adapun dibawanya makna hadits tersebut kepada makruh tanzih, maka hal itu tidaklah tepat. Karena ada sebagian tampilan lafadz dari riwayat lain yang serupa, yang diungkapkan dengan kalimat "diharamkan". Yaitu hadits Rasulullah :
عَنْ أَبي هُرَيرةَ أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَمَ قاَلَ: (( أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ))
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.
Sehingga pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan diharamkannya memakan daging setiap hewan buas yang bertaring dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang dipegang oleh pendapat ini.
Kesimpulan dan Penutup
Memakan daging anjing adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama. Hal ini dikarenakan kuatnya dalil yang menjadi dasar pijakan hukum tersebut. Oleh karenanya bagi anda yang mungkin suka mengkonsumsi daging hewan tersebut maka jauhilah warung sate jamu rica-rica yang pernah anda kunjungi.
Sehingga dengan curahan rahmat allah , selesai sudah makalah yang telah penulis hadirkan ini. Semoga dengannya sedikit banyak lebih mencerahkan pemahaman dan menambah wawasan berfikir kita mengenai persoalan halal atau haramkah daging anjing tersebut. Dan akhirnya Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad . Wallahua'lam.
Maraji'
1. Al Muwaththa' Karya Imam Malik Bin Anas, Dar El Fikr, Beirut-Lebanon, Cet. Ketiga, 1422 H
2. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al 'Asqalany, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Cet. Ke-1, 1989 M
3. Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah karya Abdurrahman Al Jazairy,Dar Al Hadits, Al Qahirah, 1424 H
4. Al-Mughny karya Abu Muhammad Abdillah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah Al Maqdisy, Hijr, Cet. Ke-2, 1992 M
5. Tafsir Al Quranul Adzim karya Abu Alfida' Ismail Ibn Katsir Al Qurasy Ad Dimasyqy, Al Maktabah Al'ashriyah, Beirut, Cet. Ketiga, 1420 H
6. Fath Al Qadir karya Imam Muhammad Bin Aly Bin Muhammad Asy Syaukany, Dar Al Kutub Al 'ilmiyah, Beirut-Lebanon, Cet.Pertama, 1415 H
7. Al Jami' Li Ahkami Al Quran karya Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al Anshary Al Qurthuby, Shafar 1380 H
Read More..