Jumat, 23 Juli 2010

RENUNGAN UNTUK KAUM HAWA


Kamu tau kenapa saya suka wanita itu pakai jilbab? Jawabannya sederhana, karena mata saya susah diajak kompromi. Bisa dibayangkan bagaimana saya harus mengontrol mata saya ini mulai dari keluar pintu rumah sampai kembali masuk rumah lagiDan kamu tau? Di kampus tempat saya seharian disana, kemana arah mata memandang selalu saja membuat mata saya terbelalak. Hanya dua arah yang bisa membuat saya tenang, mendongak ke atas langit atau menunduk ke tanah.

Melihat kedepan ada perempuan berlenggok dengan seutas "Tank Top", noleh ke kiri pemandangan "Pinggul terbuka", menghindar kekanan ada sajian "Celana ketat plus You Can See", balik ke belakang dihadang oleh "Dada menantang!" Astaghfirullah... kemana lagi mata ini harus memandang?

Kalau saya berbicara nafsu, ow jelas sekali saya suka. Kurang merangsang itu mah! Tapi sayang, saya tak ingin hidup ini dibaluti oleh nafsu. Saya juga butuh hidup dengan pemandangan yang membuat saya tenang. Saya ingin melihat wanita bukan sebagai objek pemuas mata. Tapi mereka adalah sosok yang anggun mempesona, kalau dipandang bikin sejuk di mata. Bukan paras yang membikin mata panas, membuat iman lepas ditarik oleh pikiran "ngeres" dan hatipun menjadi keras.

Andai wanita itu mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh laki-laki ketika melihat mereka berpakaian seksi, saya yakin mereka tak mau tampil seperti itu lagi. Kecuali bagi mereka yang memang punya niat untuk menarik lelaki untuk memakai aset berharga yang mereka punya.

Istilah seksi kalau boleh saya definisikan berdasar kata dasarnya adalah penuh daya tarik seks. Kalau ada wanita yang dibilang seksi oleh para lelaki, janganlah berbangga hati dulu. Sebagai seorang manusia yang punya fitrah dihormati dan dihargai semestinya anda malu, karena penampilan seksi itu sudah membuat mata lelaki menelanjangi anda, membayangkan anda adalah objek syahwat dalam alam pikirannya. Berharap anda melakukan lebih seksi, lebih... dan lebih lagi. Dan anda tau apa kesimpulan yang ada dalam benak sang lelaki? Yaitunya: anda bisa diajak untuk begini dan begitu alias gampangan!

Mau tidak mau, sengaja ataupun tidak anda sudah membuat diri anda tidak dihargai dan dihormati oleh penampilan anda sendiri yang anda sajikan pada mata lelaki. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda, apa itu dengan kata-kata yang nyeleneh, pelecehan seksual atau mungkin sampai pada perkosaan. Siapa yang semestinya disalahkan? Saya yakin anda menjawabnya "lelaki" bukan? Oh betapa tersiksanya menjadi seorang lelaki dijaman sekarang ini.

Kalau boleh saya ibaratkan, tak ada pembeli kalau tidak ada yang jual. Simpel saja, orang pasti akan beli kalau ada yang nawarin. Apalagi barang bagus itu gratis, wah pasti semua orang akan berebut untuk menerima. Nah apa bedanya dengan anda menawarkan penampilan seksi anda pada khalayak ramai, saya yakin siapa yang melihat ingin mencicipinya.

Begitulah seharian tadi saya harus menahan penyiksaan pada mata ini. Bukan pada hari ini saja, rata-rata setiap harinya. Saya ingin protes, tapi mau protes ke mana? Apakah saya harus menikmatinya? tapi saya sungguh takut dengan Zat yang memberi mata ini. Bagaimana nanti saya mempertanggungjawabkan nanti? sungguh dilema yang berkepanjangan dalam hidup saya.

Allah Taala telah berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya", yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nuur : 30-31).

Jadi tak salah bukan kalau saya sering berdiam di ruangan kecil ini, duduk di depan komputer menyerap sekian juta elektron yang terpancar dari monitor, saya hanya ingin menahan pandangan mata ini. Biarlah mata saya ini rusak oleh radiasi monitor, daripada saya tak bisa pertanggung jawabkan nantinya. Jadi tak salah juga bukan? kalau saya paling malas diajak ke mall, jjs, kafe, dan semacam tempat yang selalu menyajikan keseksian.

Saya yakin, banyak laki-laki yang punya dilema seperti saya ini. Mungkin ada yang menikmati, tetapi sebagian besar ada yang takut dan bingung harus berbuat apa. Bagi anda para wanita apakah akan selalu bahkan semakin menyiksa kami sampai kami tak mampu lagi memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian terpaksa mengambil kesimpulan menikmati pemadangan yang anda tayangkan?


So, berjilbablah ... karena itu sungguh nyaman, tentram, anggun, cantik, mempersona dan tentunya sejuk dimata.

Read More..

Masa muda adalah masa yang paling indah.

Masa muda adalah masa yang paling indah, Begitulah slogan yang sekilas yang membuat para pemuda menjadi penasaran, ada apa dengan masa muda……….?????????

Masa muda adalah masa transisi, pubertas, masa perubahan, masa yang tidak kecil dan tidak besar, masa pertengahan.
Banyak orang menganggap masa muda adalah masa untuk bersenang –senang, berfoya-foya, masa bebas/freeman {manusia bebas}, freesex [sex bebas] yang penting senang melakukan apa saja yang disenangi tanpa menghiraukan sebab akibat yang ditimbulkannya.

Sehingga muncullah slogan-slogan yang murahan,yang bisa menghipnotis para ABG { anak baru gede } seperti:Funkky man,kaum ningratan,anak Borjuis, anak Gaul, kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga, atau istilah yang lain slank [sudah lama aku naksir kamu], anak muda yang tidak punya pacar dikatakan jomblo, pemuda yang tidak merokok dikatakan banci, kurang Gaul, cuper dan lain sebagainya.
Itulah slogan –slogan yang digembar-gemborkan para pemuda pada saat ini, sehingga banyak sekali para pemuda yang lemah imannya terpengaruh oleh slogan murahan itu, mereka menganggap masa muda adalah kesempatan untuk bersenang –senang, berfoya-foya, mencari jati diri yang penting senang.

Maka tidaklah aneh kita dapati banyak wanita-wanita jalanan [gendok nikole] memamerkan auratnya, memperlihatkan lekuk tubuhnya, memakai pakaian sempit, ketat ala bupati [buka paha tinggi-tinggi], mereka beralasan, karena mensyukuri anugrah Tuhan.Apakah dengan seperti itu bentuk mensyukuri nikmat.

Mereka terpengaruh oleh budaya barat yang menggemborkan emansipasi wanita, persamaan gender dan budaya murahan yang lain yang jauh dari nilai/norma keagamaan.
Mereka merusak moral para generasi muda islam dengan istilah Ghazwul Fikri { perang pemikiran },dengan media massa,elektronik,majalah dan lain sebagainya,sehingga banyak pemuda yang mengaku islam tetapi akhlaknya /moralnya seperti orang kebarat-baratan.
Tetapi dalam pandangan agama Islam, Masa muda adalah masa yang amat menentukan.Yang mana pada masa ini seseorang sudah dikenai taklif [pembebanan], sudah ditulis baginya dosa dan pahala, sudah dikenai perintah dan larangan

Islam telah memberikan batasan-batasan bagi seorang pemuda, agarmelakukan sesuatu yang disenanginya asalkan tidak keluar dari batasan-batasan tersebut.
Sehingga tidak ada dalam Islam istilah pacaran islami, emansipasi wanita, persamaan gender dan lain sebagainya.Semua itu telah diatur dalam Islam dalam rangka membentuk generasi-generasi yang berakhlak mulia yang memiliki harga diri, kehormatan dan kepribadian yang luhur.
Seorang pemuda Muslim harus jual mahal, agar tidak terkecoh oleh gendok nikole jalanan yang murahan.Pemuda Muslim harus bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, mana yang sopan dan mana yang tidak sopan.Seorang pemuda muslim harus mewaspadai musuhnya yang paling utama yaitu; Setan,hawa nafsu,dunia.


Read More..

Selasa, 20 Juli 2010

Sholat di Belakang Shaf Sendirian

Sering kita menjumpai teman bahkan kita sendiri yang mengalaminya sholat sendirian dibelakang shof, banyak factor yang menyebabkan demikian, bisa dikarenakan keterlabatan kita atau hal-hal yang lain sehingga tidak mendapatkan shof kecuali dibelakang sendiri dan tidak ada teman lain, apa yang seharusnya dia kerjakan..............?

Mengenai permasalahan ini para ulama berbeda pendapat, hal itu dikarenakan ada dua hadist yang dijadikan hujah oleh masing-masing para ulama sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan mereka. Hadist pertama adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad ketika Rosulullah bersabda kepada seorang laki-laki yang sholat dibelakang shaf sendirian ,

اِسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ فَلَا صَلَا ةَ لِمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِ
"Menghadaplah (kembali kekiblat), karena tidak ada sholat bagi orang yang sholat sendirian dibelakang shaf." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad)
dengan hadist dengan hadist Abi Bakrah yang berbunyi,
أَنَهُ رَكَعَ دُوْنَ الصَّفِ، فَلَمْ يَأْمُرْهُ رَسُوْلُ اللهِ بِالإِعَادَةِ، وَقَالَ لَهُ : زَادََكَ اللهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
"Bahwasannya (Abi Bakrah) melakukan rukuk sebelum sampai kebarisan shaf, dan ketika itu Rosululullah tidak menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya. Kemudian Rosululullah berkata kepadanya: "Mudah-mudahan Allah menambah kesungguhan kamu dan jangan diulangi kembali." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari)

Pendapat para Ulama tentang sholat sendirian dibelakang shaf

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang makmum sholat sendirian dibelakang shaf. Apabila ada yang melakukan hal itu, maka tidak syah sholatnya. Karena Rosulullah telah bersabda kepada seorang laki-laki yang sholat dibelakang shaf sendirian, (minhajul Muslim hal 204)

اِسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ فَلَا صَلَا ةَ لِمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِ
"Menghadaplah (kembali kekiblat), karena tidak ada sholat bagi orang yang sholat sendirian dibelakang shaf." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad)
Sedangkan Imam Ibnu qudamah didalam kitabnya Al-Mughni berpendapat, "Barang siapa sholat sendirian dibelakang shaf atau sholat disebelah kiri imam, maka ia harus mengulangi sholatnya. Ringkasnya, barang siapa sholat sendirian dibelakang shaf meskipun telah mendapatkan satu rakaat dari imam maka sholatnya tetap tidak syah. Ini adalah perkataan An-Nakho'I, Al-Hakam, Al-Hasan bin Sholih, Ishaq dan Ibnu Mundzir. Adapun Imam Al-hasan, Imam Malik, Al-Auza'I, As-Syafi'I dan Ashabur Ro'yi membolehkan sholat sendirian dibelakang shaf, Mereka berhujah dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakrah, ketika itu beliau rukuk bukan pada shaf dan Nabi saw tidak menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya.
Sedangkan kami (Ibnu qudamah) berhujah dengan hadist yang diriwayatkan oleh Wabishoh bin Ma'bad bahwa Nabi saw melihat seorang laki-laki sholat dibelakang shaf sendirian, maka ketika itu beliau Rosul menyuruhnya untuk mengulanginya.
اِسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ فَلَا صَلَا ةَ لِمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِ
"Menghadaplah (kembali kekiblat), karena tidak ada sholat bagi orang yang sholat sendirian dibelakang shaf." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad)
dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud,

رَأَهُ رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيْدَهُ
"Beliau (Rosulullah) melihat seorang laki-laki sholat dibelakang shaf sendirian. Maka ketika itu Rosulullah menyuruhnya supaya mengulangi sholatnya." (Diriwayatkan oleh Abu Daud)
Dalam riwayat lain Nabi pernah ditanya tentang sholat seseorang dibelakang shaf sendirian beliau berkata, "Hendaknya ia mengulangi sholatnya." Sedangkan dari Ali bin Saiban bahwa beliau pernah sholat bersama Rosulullah saw, ketika itu beliau berpaling dan melihat seorang laki-laki sholat dibelakang shaf dan Nabi mendiamkannya sejenak dan ketika laki-laki itu hendak beranjak Nabi bersabda,

اِسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ فَلَا صَلَا ةَ لِمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِ
"Menghadaplah (kembali kekiblat), karena tidak ada sholat bagi orang yang sholat sendirian dibelakang shaf." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad)
Adapun didalam hadist Abi Bakrah, Rosulullah melarang perbuatannya dengan bersabda, "Jangan kamu ulangi ". Lafadz ini adalah larangan sedangkan larangan itu menunjukkan kepada rusaknya suatu perbuatan. Perbuatan Abi Bakrah ini merupakan suatu udzur karena ketidak-tahuannya akan larangan sholat sendirian dibelakang shaf, sedangkan ketidaktahuan itu hukumya dimaafkan.

Sedangkan sholat disebelah kiri imam itu hukumnya syah jika disebelah kanannya sudah ada yang menempatinya. Karena Ibnu Mas'ud pernah sholat diantara Al-Qomah dan Al-Aswad, ketika mereka selesai dari sholatnya maka beliau berkata,
"Demikianlah saya melihat Rosulullah mengerjakannya." (Diriwayatkan oleh Abu Daud). Sedangkan jika sebelah kanan imam tidak ada seorangpun yang sholat maka sholatnya fasid (rusak) baik ketika sendirian atau berjamaah. Dan kebanyakan Ahlul Ilmi berpendapat bahwa seorang makmun yang sholat sendirian maka hendaknya ia sholat disebelah kanan imam.

Akan tetapi Imam Malik, Syafi'I dan Ashabur ro'yi pernah berpendapat bahwa Kalau ada seseorang yang sholat diosebelah kiri imam maka sholatnya tetap syah, Karena ibnu Abas pernah sholat disebelah kiri rosul kemudian beliau menariknya kesebelah kanan. (al-Mughni 3/9-51)
Ibnu Rusd berkata, Para ulama berbeda pendapat mengenai sholatnya seseorang dibelakang shaf sendirian, akan tetapi jumhur ulama bependapat bahwa sholatnya tetap syah. (bidayatul Mujtahid 2/300) Mereka berhujah dengan hadist Abi bakrah

أَنَهُ رَكَعَ دُوْنَ الصَّفِ، فَلَمْ يَأْمُرْهُ رَسُوْلُ اللهِ بِالإِعَادَةِ، وَقَالَ لَهُ : زَادََكَ اللهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
"Bahwasannya (Abi Bakrah) melakukan rukuk sebelum sampai kebarisan shaf, dan ketika Rosululullah tidak menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya. Kemudian Rosululullah berkata kepadanya: "Mudah-mudahan Allah menambah kesungguhan kamu dan jangan diulangi kembali." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari)

Adapun didalam Kitab Lajnah Daimah yang diketuai oleh Abdulah bin Baz, ketika ditanya mengenai sholatnya seseorang dibelakang shaf sendirian, mereka menjawab bahwa,

"Apabila seseorang yang hendak sholat mendapati shaf penuh, maka hendaknya ia menunggu sampai ada orang yang datang menemaninya dishaf yang ia berdiri, jangan sekali-sekali menarik orang yang berdiri dishaf depannya. Dan jika memungkinkan ia masuk kedalam shaf atau sholat disebelah kanan imam. Kemudian kalau tidak memungkinkan maka hendaknya ia bergabung dengan jamah lain, kalau tetap juga tidak mendapatinya, maka dia sholat sendirian setelah imam mengucapkan salam dan tidak ada dosa baginya. Allah berfirman,

فَاتَّقُوْا اللهَ مَاسْتََطَعْتُمْ
Artinya,"Bertakwalah kepada Allah, sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian"(Q.S At-Taghobun:16)
karena ibadah bersifat tauqifiyah. Adapun hadist tentang larangan sholat dibelakang shaf sendirian itu merupakan hadist yang shahih. Sedangkan hadist

أَلَّا دَخَلْتَ عَلَيْهِمْ أَوْ اِجْرَرْتَ رَجُلًا
"Tidakkah kamu bergabung dengan mereka, atau menarik salah seorang (yang ada dibarisan shaf )."
Ini adalah hadist dhoif. Dan kalau hal itu sampai dilakukan akan menimbulkan celah ditengah barisan, padahal kita diperintahkan untuk menyempurnakan shaf dan merapatkannya.( lajnah daimah 8/9-11)

Kesimpulan dari pembahasan ini, setelah menelaah dari litelatur yang ada bahwa sholat dibelakang shaf sendirian hukumnya syah dan ini adalah pendapat jumhur. Sedangkan langkah yang paling tepat ketika menemukan kondisi sperti ini adalah hendaknya menunggu sampai ada orang yang datang menemaninya dishaf yang ia berdiri, jangan sekali-sekali menarik orang yang berdiri dishaf depannya, karena hadist yang menjadi sandaran dalam hal ini adalah lemah. Dan jika memungkinkan ia masuk kedalam shaf atau sholat disebelah kanan imam. Kemudian kalau tidak memungkinkan maka hendaknya ia bergabung dengan jamah lain, kalau tetap juga tidak mendapatinya, maka dia sholat sendirian setelah imam mengucapkan salam dan tidak ada dosa baginya.

Daftar Pustaka
Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al-Jazairi
Al-Mughni, Ibnu Qudamah
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Ibnu Rusyd
Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lil Buhus Al-Islamiyah, jam'u wa tartib li asy-syaikh Ahmad abdur Rozaq ad-Dausyi
Read More..

Urgensi Fathu Makah Terhadap Eksistensi Islam

Fathu Mekkah merupakan sebuah peristiwa yang besar, dimana pada peristiwa tersebut Allah menjadikan Dien, Rosul dan tentara-Nya mendapatkan izzah dan kemuliaan yang haqiqiDia selamatkan negri dan rumah yang menjadi central cahaya petunjuk bagi semesta alam dari pengaruh hegemoni orang-orang kafir dan musyrikin. Pada saat itu tahun kedelapan bulan Romadlon Rosululloh bersama pasukan Islam dan tentara Ar Rohman mendapatkan kemenangan. Sebuah kemenangan yang dikabarkan melalui penghuni langit sehingga manusia berbondong-bondong memeluk Dienul Islam. Planet bumi terang benderang penuh dengan cahaya keadilan.1.

A. Sebab terjadinya Futuh

Peristiwa Fathu Makah diawali dengan adanya perjanjian Hudaibiyah. Dengan adanya perjanjian tersebut manusia merasa aman, terjaminnya HAM dalam menjalankan keyakinannya tanpa adanya rasa takut atau depresi, manusia berani menampakkan syiar agamanya sehingga dengan event tersebut banyak manusia pindah haluan menuju Dienul Islam. Sehingga dengan adanya peristiwa tersebut dikenal dengan Fath atau kemenangan.2.
Adapun sebab prinsipil terjadinya peristiwa monumental itu adalah sebagai berikut:"Salah satu draf kesepakatan diantara kedua pihak adalah setiap kabilah/suku bebas menentukan hak sebagai kabilah yang berdaulat apakah beraliansi dengan nabi Muhammad atau dengan orang Quraisy. Maka bergabunglah kabilah-kabilah tersebut sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Dari kabilah itu ada salah satu kabilah yang bernama Bani Bakar yang saat itu beraliansi dengan pihak Quraisy melakukan pelanggaran atas kesepakatan itu. Mereka membunuh dan menghabisi bani Khuza'ah yang telah bergabung dengan pihak muslimin. Dalam operasi tersebut bani Bakar dibawah komandan Naufal bin Muawiyah bersama orang Quraisy terus melaju menerjang walau berlindung dibalik tirai ka'bah sekalipun tanpa menghiraukan lagi isi draf kesepakatan tersebut. Motif yang melatarbelakangi peristiwa itu adalah balas dendam.
Dengan adanya tragedi tersebut bergegaslah Amru bin salim menuju Rosululoh untuk melaporkan keadaan yang menimpa kaumnya.
Setelah mendengar penuturan utusan bani Khuza'ah maka Rosululoh segera melakukan mobililsasi umum untuk menghentikan hegemoni kaum kafir Quraisy di semenanjung arab. Dengan adanya penyerangan itu menujukkan bahwa gencatan senjata yang menjadi kesepakatan telah berakhir maka terjadilah apa yang disebut dengan Fathu Makah.

B.Peristiwa edukatif seputar Fathu Makah

قال تعالى في كتابه الكريم:"..... فاعتبروا يأولي الأبصار" (الحشر:3)
Berdasarkan firman Alloh ta'ala di atas sudah sepantasnya bagi kita untuk selalu berfikir dan mengambil I'tibar (pelajaran) dalam setia peristiwa yang terjadi, baik peristiwa tersebut terjadi pada diri kita ataupun yang menimpa orang lain. Terlebih lagi peristiwa yang berkaitan dengan sejarah peradaban. Dimana sejarah memegang peranan yang sangat urgen bagi eksistensi sebuah negara atau peradaban. Jika rakyat suatu negri jahil akan histori negrinya sendiri, jangan harap akan mampu mempertahankan wilayah dan teritorialnya. Nonsense, oleh karena itu marilah kita bersama-sama mengkaji ulang dan merekonstruksi ulang sejarah gemilang yang telah lama hilang ini sehingga kita akan dapat memetik buah dari peristiwa-peristiwa tersebut, yaitu kejayaan dan kemenangan. Adapun peristiwa yang patut dijadikan pelajaran adalah sebagai berikut.

1. Masalah hudnah/ perjanjian.

Dalam pentas sejarah dunia jarang kita jumpai pasukan yang menerapkan atau menjunjung tinggi nilai wafa' (memenuhi hak dan janji) menyamai sikap wafa' yang telah dicontohkan oleh Islam. Terlebih lagi ketika mereka berada pada pihak yang menang, tindakan dlolim dan anarkis adalah sebuah fenomena yang lumrah.
Adapun hudnah yang dimaksud disini adalah kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak yang terlibat dalam sebuah pertempuran untuk menghentikan perang selama masa yang disepakati.
Adapun syarat dan konsekuensi adanya hudnah adalah ditetapkan atas masa awal berlakunya dan juga masa berakhirnya secara jelas. Dengan demikian jelaslah bahwa dikarenakan melanggar sebuah kesepakatan maka berakhirlah hudnah tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada zaman Rosul ketika pihak Quraisy melanggar draf kesepakatan maka mereka diserang.
Dari kejadian diatas pelajaran pertama yang dapat kita ambil ialah diperbolehkannya bagi Imam atau Komandan pasukan untuk menyerang tanpa harus memberitahu terlebih dahulu jika mereka mengkhianati isi kesepakatan tersebut.
Inilah konsesensus ulama'. Namun jika mereka tidak mengkhianati dan kekukatan merekapun jauh diatas kekuatan Islam maka bagi imam tidak diperbolehkan menyerang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Dengan dalil firman Alloh ta'ala:
"وإما تخافن من قوم خيانة فانبذ إليهم على سواء إن الله لا يحب الخائنين"
Yaitu memberitahukan dahulu kepada mereka bahwa perjanjian ini telah berakhir.1.

2.Surprise

Indikasi pelajaran yang kedua ini dapat kita lihat melalui sikap Rosululloh didalam menyembunyaikan inspirasi yang ada di benaknya ketika akan melakukan futuh mekkah, hatta sahabat paling dekatnya Abu Bakar atau istrinya yang tercinta sekalipun, niatan tersebut tetap menjadi top secret sampai segala persiapan betul-betul siap, kemudian baru diberitahukan tentang tujuannya.
Begitu pula beliua juga menyebar spions yang berpatroli di seputar Madinah menghalangi bocornya rahasia tersebut. Sehingga orang-orang Quraisy tidak dapat menerima informasi itu, yang akhirnya memaksa pihaknya untuk bertekuk lutut dan angkat tangan.
Surprise adalah salah satu prinsip perang yang sangat vital, baik itu pada zaman dulu maupun sekarang ini, baik itu surprise yang berkaitan dengan tempat, yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain tanpa disadari dan diperhitungkan oleh musuh, atau surprise yang berkaitan dengan waktu, yaitu melakukan pergerakan pada waktu yang tidak disangka-sangka oleh musuh. Dan juga surprise yang berkaitan dengan taktik atau senjata baru. Dengan strategi inilah prospek besar dalam membantu untuk meraih kemenangan.

3. Utusan mata-mata yang disandera diserahkan sepenuhnya kepada imam/komandan sesuai dengan maslahat dan mudhorot yang muncul, sebagaimana peristiwa Umar ketika akan mengeksikusi Hatib karena telah membocarkan rahasia perang kepada pihak musuh, namun tidak diizinkan oleh Rasulullah karena Hatib adalah salah satu dari ahli Badar yang dijamin sorga oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

4. Tidak boleh membunuh utusan walaupun itu adalah utusan yang jelas-jelas melakukan pelangaran, sebagaimana kasus Abu Sufyan. Ini adalah kesepakatan dunia internasional yang patut diperhatikan, dikarenakanutusan ini memiliki kedudukan vital dalam sebuah interaksi antar negara, jika dilanggar faktor negatifnhya sangatlah besar. Sebagaimana contoh yang terjadi pada masa Daulah Abbasiah, gara-gara membunuh utusan, negara, rakyat beserta seluruh kekayaan yang ada di dalamnya ikut menaggung getahnya. Perkara ini harus mendapat porsi yang serius.

5. Diperbolehkan menyingkap aurat wanita bila ada hajat yang menuntut dan juga ada maslahat umum sebagaimana kisah Ali beserta Miqdad, beliau diutus Rasul untuk melacak wanita yang membawa berita bocoran dari Hatib bin Abi Balta'ah. Namun di sini ada pertanyaan, bolehkah menimpakan kekerasan kepada pihak yang tertuduh dengan berbagai macam wasilah untuk mendapatkan informasi? Dalam persoalan ini ada khilaf antara yang membolehkan hal tersebut berdalih dengan apa tang telah dilakukan sahabat Ali Radhiyallahu'anhu terhadap wanita pembawa surat rahasia tersebut untuk mendapatkan sesuatu, dengan yang tidak membolehkannya. Adapun menurut imam madzhab dan pendapat jumhur adalah tidak boleh dikarenakan dua hal:
Pertama: karena wanita benar-benar melakukannya berdasarkan wahyu yang tidak mungkin diingkari, ini tidak bisa dianalogikan selain Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam, karena selain beliau tidak ada yang ma'shum.
Kedua: perintah untuk menyingkap aurat dengan perintah menimpakan adzab/kekerasan adalah jauh perbedaannya, jadi bagaimana itu bisa diqiyaskan?

6. Diharamkannya nikah mut'ah setelah sebelumnya diperbolehkan selama + 15 hari.

7. Sunah untuk melakukan show a force kepada pihak musuh, sebagaiman a perintah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk menyalakan api dari camp-camp tentara dan juga ditahannya Abu Sufyan unntuk melihat parade militer dan kekuatan tentara Islam.

8. Diperbolehkan membunuh orang murtad. Sebagaimana yang terjadi pada Sulaiman Abi Sarah. Karena dia dulu telah masuk Islam kemudian hijrah dan murtad setelah kembalinya ke Mekkah.

9. Visioner (pandangan jauh).

Sifat tersebut harus membekas pada diri seorang panglima. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam fathu makkah beliau pikirkan beberapa kemungkinan yang timbul di dalam menjalankan sebuah misi. Diantara bentuknya adalah ditahannya Abu Sufyan di celah gunung menuju Mekkah dengan maksud untuk meruntuhkan moral pihak musuh dengan kemungkinan adanya perlawanan itu sangat kecil. Beliau juga mengambil langjah antisipasi yang efektif dengan menempatkan kekuatan di empat penjuru Mekkah untuk menghadapi kemungkinan buruk dari pihak musuh.

10. dilarang membunuh wanita atau orang buta yang tidak ikut dalam kancah peperangan.

11. boleh bagi istri mengambil harta suaminya untuk nafkah tanggungannya dengan cara yang baik ataupun tanpa izin jika hak itu tidak ditunaikan. Sebagaimana kisah Hindun yang melaporkan ihwal suaminya yang pelit, maka Rasulullah mengizinkan perbuatan tersebut dengan cara yang ma'ruf.

12. Larangan memberikan syafa'at atau perlindungan dalam masalah had setelah berita itu sampai ke[pada imam. Dikarenakan Rasul murka kepada Usama bin Zaid disebabkan dia memberikan syafa'at atas wanita Al Makhzumiyah yang mencuri, padahal berita itu telah sampai pada Rasul.

13. Tidak boleh berwasiat melebihi 1/3 dari hartanya. Seperti kisah Sa'ad bin Abi Waqas, ketika beliau sakit di Mekkah kemudian meminta bermusayawarah dengan Rasul tentang bagaimana solusi yang baik. Maka Rasulullah menetapkan wasia tidak boleh melebihi 1/3 hartanya.

14. Adanya syari'at qoshor sholat, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya tinggal di Mekkah + 19 hari melakukan qoshor.

15. Diperbolehkan ifthar disebabkan melakukan safar bukan dalam maksiat.

16. Hikmah yang paling besar adalah peristiwa masuk islamnya penduduk Mekkah ketika mereka menyaksikan perseteruan antara kaum muslimin dan kaum Quraisy. Dikarenakan mereka berprediksi kalau Nabi Muhammad itu Nabi, pasti menang berarti yang dibawa itu adalah mest juga benar sehingga mereka berduyun-duyun masuk Islam, dan terealisasilah skenario Ar Rohman yang difirmankannya:
نا فتحنا لك فتحا مبينا"

D. Penutup.

Demikianlah beberapa pelajaran berharga dari sebuah perarungan besar yaitu Fathu Mekkah, kita akan mengetahui betapa urgennya arti sebuah Hijrah, Jihad dan pengorbanan yang berat di dalam mengemban misi Ilahi ini. semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membimbing kita ke jalan yang lurus. Amiiin..
Bila ada kekurangan saran keritik kami harapkan selalu.

Read More..

Kamis, 15 Juli 2010

ETIKA ORANG YANG TERDZOLIMI

Alloh Ta'ala berfirman:

وإن عا قبتم فعا قبوا بمثل ما عا قبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصبرين

Dalam tulisan ini akan dibahas sedikit tentang penjabaran dari ayat 126 dari surat An Nahl, disertai dengan beberapa perbedaan diantara para ulama’ tentang ma’na dan maksud dari ayat yang mulia ini.
Allah Ta’ala mengingatkan kaum muslimin “ Dan jika kamu didzolimi oleh orang-orang yang mendzolimi kamu wahai kaum muslimin, dan mereka melampaui batas terhadap kamu sekalian, balaslah mereka sebagaimana mereka mendzolimi kamu sekalian. Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian “.

Alloh mengkabarkan kepada kaum muslimin bahwa sabarnya mereka di dalam menghadapi kedzoliman serta mengharapnya mereka kepada pahala dari Allah adalah suatu kebaikan yang akan Allah berikan kepada mereka, karena Allah akan menggantikan balas dendam atas kedzoliman yang menimpa mereka untuk membalas orang-orang yang telah mendzoliminya dengan suatu kemenangan yang nyata.

Para ahli tafsir banyak yang berselisih pendapat tentang sebab-sebab dari diturunkannya ayat ini. Dan juga apakah ayat ini termasuk ayat yang sudah dimansukh (dihapus) atau ayat yang muhkamah ? (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an , Imam Ibnu Jarir , At Thobari, 8/227).

Telah diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a bahwa Rasullullah saw berdiri dihadapan mayat pamannya ( Hamzah bin Abdul Mutalib ) tatkala syahid di medan perang uhud. Beliau melihat suatu pemandangan yang belum pernah ia lihat, suatu pemandangan yang mampu menjadikan hati seseorang merinding sekaligus sedih dan pilu. Beliau melihat jasad paman tercintannya telah meninggal dengan keadaan yang telah dicincang-cincang layaknya seekor kadal yang telah menjadi bangkai. Maka bersabdalah beliau seketika itu:” Semoga rahmat Allah tercurah kepadamu, sungguh tidaklah aku melihatmu kecuali tersampainya engkau pada rahmat-Nya, engkau amalkan suatu amalan yang mulia. Sungguh kalau bukan karena aku kuatir orang-orang sesudahmu menjadi sedih dan pilu, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagiku untuk meninggalkanmu sendirian sehingga Allah membangkitkanmu dari perut-perut binatang buas, maka demi Allah sungguh aku akan menuntut balas dengan mencincang orang sepertimu dari mereka. ”Maka turunlah malaikat Jibril dengan membawa wahyu dari Allah yaitu surat An Nahl :126. Maka berpalinglah Rasullullah kekanan seakan-akan beliau belum siap dengan konsekwensi dari ayat ini meskipun begitu, beliau adalah orang pertama dari umat ini yang paling sabar dan mampu untuk mengendalikan hawa nafsunya. ( Tafsir Ibnu Katsir 2/544)

Dan di dalam beberapa sumber disebutkan bahwa tatkala para sahabat melihat kesedihan beliau yang begitu dalam maka bersumpahlah mereka: “Demi Allah, kalau sekiranya kita masih dipertemukan Allah dengan mereka seperti hari ini sungguh akan kami cincang-cincang mereka. Dan tatkala terbukanya kota mekah oleh kaum muslimin berkatalah salah seorang kaum muslimin: “Sungguh tidak akan kita jumpai lagi orang-orang quraiys setelah hari ini”. Maka terdengarlah suara yang sangat keras: “Sesungguhnya Rasulullah telah menjamin keamanan siapa saja dari mereka kecuali sifulan dan sifulan (orang-orang yang telah menjadi target pembunuhan), maka turunlah ayat tersebut. Sehingga Rasulullah bersabda: “Kita bersabar dan jangan membalas.” Adapun Imam Saukanui dalam kitabnya “fathul Qadir” menambahkan bahwa tatkala ayat ini diturunkan pada hari pembukaan kota makah Nabi SAW bersabda: “Kita bersabar dan tidak membalas, dan tahanlah diri kalian dari menyerang kaum itu kecuali empat orang saja.” (fathul Qodir 3/25, Darul Mantsur fii tafsirir mantsur 5/179)

Maka apabila musuh sudah menghalalkan darah kaum muslimin, membunuh dan mencicang jasad kaum muslimin, maka halal sudah bagi kaum muslimin untuk berbuat hal yang sama terhadap mereka selama tidak melampaui batas. Dan nilai keharaman dalam hal ini telah diangkat dari kaum muslimin untuk bertindak dengan hal yang sama. Akan tetapi jika kaum muslimin mau memaafkan dan membiarkan mereka tanpa harus membalas dengan hal yang serupa, maka hal itu akan lebih baik dan afdhol. Dan dalam hal ini dikhususkan bagi Rasulullah SAW untuk meninggalkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kaum muslimin itu untuk membalas perbuatan mereka dengan hal yang setimpal.

Dalam artian lain bahwa bagi pribadi Rasullullah saw Allah menuntut dan mewajibkan untuk meninggalkan dari mencincang-cincang jasad mereka dan hendaknya beliau bersabar. Sebagaimana firman Allah :
واصبر وما صبرك إلا بالله
Sabar dalam ayat ini datang dalam bentuk perintah, yang ma’nanya bahwa sesuatu itu menjadi wajib adanya. Adapun firman Allah bagi kaum muslimin tidak dalam bentuk perintah, sebagaimana firman-Nya :”ولئن صبرتم “ artinya bahwa hal itu hanya sekedar sunnah bagi kaum muslimin pada umumnya. Tapi yang jelas dzohir dari ayat ini menunjukkan atas bolehnya kaum muslimin untuk membalas kaum kafir dalam kondisi yang semacam ini dan keharaman untuk hal itu telah diangkat. Dan ayat ini bersifat umum, kaum muslimin boleh untuk membalas mereka sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap kaum muslimin, maka jika mereka membunuh para wanita, anak-anak, dan orang tua, telah halal bagi kaum muslimin untuk berbuat yang semisal.

Ibnu Qoyim di dalam Khosiyahnya 12/180 menyatakan : “Dan Allah telah menghalalkan bagi kaum muslimin untuk mencincang-cincang mereka jika mereka melakukan hal itu, meskipun mencincang itu termasuk hal yang dilarang.” Allah berfirman “ ن عا قبتم وإ “ Dan ayat ini adalah dalil dibolehkannya untuk itu, maka memotong hidung, telinga, merobek perut, atau yang semacam hal itu adalah bentuk keadilan terhadap mereka, bukan kedzoliman.
Adapun mencincang itu sendiri pada dasarnya adalah larangan. Imam Ahmad meriwayatkan hadits yang datangnya dari Samroh ibnu Jundub dan Imron ibnu Husain berkata:” Tidaklah Rasulullah SAW itu berkhutbah kecuali beliau perintahkan untuk sedekah dan melarang dari mencincang”. Dan perkataan Ibnu Qoyim ini membantah bagi orang yang menyatakan : “Bagaimana kalian membunuh kaum wanita dan anak-anak? Mengapa kalian membalas kepada orang-orang yang tidak melakukannya?” Padahal Allah telah berfirman: ولا تزر وازرة وزر اخرا
Lalu bagaimana kalau kita katakan kepada mereka: Mengapa Rasulullah SAW memerangi kaum Quraiys padahal yang berkhianat hanyalah para tokohnya saja? Dan mengapa para ulama’ membolehkan untuk mencincang-cincang tentara musuh dan tidak mensyaratkan bagi sipelaku saja ?
Kemudian saya akan sebutkan beberapa perbedaan diantara para ulama’ tentang seseorang yang didzolimi dengan diambil hartanya oleh orang lain, kemudian orang itu menitipkan sejumlah uang kepada pihak yang didzolimi, maka apakah boleh ia mengambil uang itu sejumlah uang yang telah diambil oleh orang yang telah mendzoliminya tadi ?
Segolongan ulama’ diantaranya Ibnu Sirin, Ibrohim An Nakho’I, Sufyan dan Mujahid membolehkan hal itu dengan berdalil ayat ini (An Nahl : 126). Adapun Imam Malik dan beberapa ulama’ lainya melarang hal itu dengan berdasarkan hadits Nabi SAW : “Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang telah memberimu amanah dan jangan engkau khianati orang yang telah mengkhianatimu”. (HR. Daruqutni). Dengan begitu jelaslah bahwa pengkhianatan tidaklah dibenarkan dengan alasan balas dendam. ((Jami’ Ahkamil Qur’an : 10/202)).

Dan dalam musnad Ibnu Ishaq bahwasannya hadits ini berkenaan dengan kasus seorang laki-laki yang berzina dengan istri orang lain, kemudian orang itu mempunyai kesempatan untuk membalas kesempatan itu tatkala laki-laki itu pergi untuk bersafar dan menitipkan istrinya kepadanya, maka perbuatan inipun ia laporkan kepada Rasulullah SAW seraya Beliau bersabda: “Tunaikanlah amanatmu itu kepada orang yang telah memberimu amanah dan jangan engkau khianati orang yang telah mengkhianatimu”.
Jadi hadits ini adalah bentuk pengecualian dari penghalalan yang telah diberikan Allah dalam ayat 126 dari surat An Nahl kepada kaum muslimin.

Maroji’
Jami’ul Bayan 'an Ta'wili ayi Al-Qur'an, Ibnu Jarir At-Thobari.
Ad Darul Mantsur Fie Tafsiril Mantsur, imam Abdurahman jalaludin As-suyuti
Jami'ul ahkam al-qur'an, Imam Al-Qurtubi
Adhwa’ul Bayan, Muhmmad Amin bin Muhammad Mukhtar Al-Jukani As-Sankiti.
Fathul Qodir, Imam Muhammad bin Ali Bin Muhammad bin Asy-syaukani.
Tafsir Al-Qur'anul 'adhim, Ibnu Katsir
Tafsir Shofwatut Tafasir, Muhammad Ali Ash-Shobuni.
Read More..

MEMOLES KEMALASAN DENGAN TAWAKKAL


" jikalau kalian bertawakal kepada Allah SWT, dengan sebenarnya niscaya Allah SWT akan memberikan rizki kepada kalian seperti seekor burung. Pagi pagi ia keluar keluar dalam keadaan lapar dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang "
Dalam kehidupan manusia didunia tentunya takkan pernah absen dari permasalah dan takkan luput dari urusan-urusan yang menyulitkan. Karena pada dasarnya kehidupan yang kita jalani adalah lika-liku untuk memecahkan permasalahan, baik yang menyangkut duniawi atau ukhrowi. Syariat Islam yang agung mewajiban kepada setiap kaum muslimin untuk melakukan usaha halal yang bermanfaat untuk mengatasi semua problem dalam kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam semua usaha yang mereka lakukan. Alloh ta'ala berfirman
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً
Artinya," " Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. ( Ath Tholaq : 3)

Perintah untuk mencari Rizqi
Seseorang dikatakan memiliki semangat yang tinggi dalam mencari rizki adalah ketika ia mau bekerja keras, dan tidak mau bergantung kepada orang lain, tidak meminta minta, serta tidak mau menerima sedekah kecuali dalam kondisi betul-betul terpaksa.
Islam telah memerintahkan kepada umatnya agar bertebaran di muka bumi dalam rangka untuk mencari rizki, mencela meminta-minta, dan melarangnya kecuali dalam kondisi terpaksa. hal ini dimaksudkan untuk memuliakan seorang muslim dari kehinaan dan memompa semangat serta menjaga kemuliaan dirinya.
Banyak sekali nash-nash yang berbicara masalah ini, baik dari al-qur'an maupun al-hadits yang berkaitan tentang anjuran untuk bekerja keras.
Allah Ta’ala berfirman,
{فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah:10).
Alllah Ta'ala berfirman :
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
"Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan" ( QS. An-Naba' : 11 )
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
"Dan kami adakan bagi kalian dimuka bumi itu sumber penghidupan, amat sedikitlah kalian bersyukur" ( QS. Al-A'rof : 10 )
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
"tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karuni (rezki hasil perniagaan) dari Robb kalian" ( QS. Al-Baqaroh : 198 )
Dan Rasullullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :

ماأكل أحد طــــعاما قـط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإنّ نبــيّالله داود كان يأكل من عـمل يـده
"Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik dari pada makan dari kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah I Daud juga makan dari kerja tangannya sendiri" ( HR. Bukhari ).

Ancaman kepada orang yang malas bekerja
Orang muslim mengetahui bahwa musuh besarnya adalah hawa nafsu yang ada dalam hatinya, bahwa watak hawa nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan. Selain itu watak hawa nafsu adalah senang bermalas-malasan, santai, dan menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati didalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaan. Padahal Rosululloh saw memerintahkan kepada kita agar supaya bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bekerja untuk dunia.
Kita ingat tentang sabda Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang setiap orang adalah bertanggung jawab atas yang di pimpinnya dan setiap kepala keluarga bertanggung jawab terhadap keluarganya. Maka, apabila seseorang tidak memikirkan keluarga dan menjadikannya terlantar. Maka, ia telah malakukan sebuah kemaksiatan dan perbuatan dosa. Rosululloh SAW bersabda,:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
"Dari Abdullah bin Amru radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "cukuplah seseorang dianggap berbuat dosa apabila ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud kitabuz zakat. 1692, Ahmad. 2/160)
Oleh karena itu, bekerja untuk menghidupi keluarga merupakan tuntutan dalam islam bagi setiap kepala keluarga tentunya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh agama.

Makna Tawakkal yang Hakiki
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata), tentunya sesudah berusaha dengan maksimal. Alloh Ta'ala berfirman
{فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ}
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ”
“Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…”(HR Muslim )
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal yang didasari dengan kesungguhan, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal dan sungguh-sungguh merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau,
لو أنكم كنتم توكلون على اللَّه حق توكله ، لرزقتم كما يرزق الطير ، تغدو خماصا وتروح بطانا
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang” (HR Ahmad (1/30), at-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), Ibnu Hibban (no. 730) dan al-Hakim (no. 7894), dinyatakan shahih oleh, at-Tirmidzi rahimahullah, Ibnu Hibban rahimahullah, al-Hakim rahimahullah dan al-Albani rahimahullah )
Imam al-Munawi rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata). Akan tetapi setelah burung tadi bekerja keras untuk mencari makanan.
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).

REFRENSI
Al-qur'an dan terjemah
Tazkiyatun an-nafs, Ibnu Rajab al-hambali, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Imam al-ghozali
Jamii'ul 'ulum wal Hikam, syarhu khosiina hadisan min jawami'ul kalim, Ibnu Rajab Al-hambali.
Mukhtasar minhajul qosidin, ibnu Qodamah
Al-qulul Mufid 'ala Kitabut tauhid, Muhammad bin Sholih Al-Usaimin.
Minhajul Muslim, Abu Bakr jabir Al-Jazairi.
www.ibnuabbaskendari.wordpress.com

Oleh : Nur Kholis Faturrohim.
Read More..

Rahasia di balik syahadat

Seiring dengan perjalanan sejarah, masih terlintas dibenak kita sebuah peristiwa memilukan hati dan sangat mengguncangkan jiwa. Peristiwa yang syarat dengan kesedihan dan kegundahan mendalam. Peristiwa yang menuntut ketegaran sang pengemban risalah, bahkan eksistensinya dipertaruhkan. Inilah peristiwa yang menimpa Rosululullah Saw, Tepatnya pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari kenabian, ketika beliau mendatangi Pamannya Abu Tholib, dipenghujung hayatnya. Sementara itu Abu Jahal sudah berada disisinya. Kemudian beliau berkata,
يَا عَمْ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا الَله كَلِمَةٌ أَشْهَدٌ لَكَ بِهَا عِنْد الله
“Paman, katakan la ilaha illallah, suatu kalimat yang dapat saya jadikan sebagai hujah disisi Allah. Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Mutholib? “keduanya terus berbicara kepada Abu Thalib, sehingga pada akhirnya Abu Thalib mengucapkan bahwa dia berada diatas agama Abdul Muthalib.Kemudian Nabi Saw berkata, “Aku akan memohonkan ampunan untuk anda selama tidak dilarang." (Mutafaqun 'alaihi). Lalu, turunlah ayat yang menegur beliau,
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni naar Jahannam. (QS. 9:113)
Termaktub didalam kisah diatas, harapan dan usaha maksimal dari Rosulullah yang meyakinkan pamannya, supaya mengucapkan kalimat syahadat tauhid la ilaha illallah. Meskipun akhirnya pamannya meninggal dalam kekafiran dan berujung dengan kesedihan.
Ada dua faktor yang melatar-belakangi kesedihan beliau. Pertama: Pamannya adalah satu-satunya orang yang mampu melindungi, membela serta ikut berpatisipasi memajukan dakwahnya ketika itu. Kedua: Ketika dipenghujung hayatnya, pamannya enggan mengucapkan kalimat la ialha illallah. Dan faktor kedua inilah yang sangat disayangkan oleh beliau dan yang membuat beliau sedih dengan kesedihan yang tiada tara.
Sekarang timbul pertanyaan yang mengganjal dibenak kita. Mengapa Rosulullah sangat sedih, lantaran pamannya meninggal tanpa mengikrarkan syahadat la ilaha illallah? Apa sebenarnya muatan hikmah yang tersirat didalamnya? Hal inilah yang melatar belakangi pembahasan ini.
Kisah diatas merupakan contoh yang riil, yang dicontohkan baginda Nabi saw akan pentingnya syahadat. Beliau telah berusaha dengan sekuat tenaga mendakwahkan kalimat syahadat ini, serta konsisten diatas jalannya. Bahkan tidak ada seorang pun, yang dapat menggoyahkan prinsip dan pendirian beliau. Akhirnya setelah diamati dan ditelaah dari literatur yang ada, ternyata ada beberapa hikmah ataupun rahasia yang termuat didalamnya diantaranya:

Syahadat merupakan asas Aqidah islamiyah
Syahadat merupakan asas dari aqidah islam, hal ini dilihat dari esensi syahadatain, disaat seseorang mengikrarkannya dua kalimat syahadat berarti ia berjanji, bersumpah dan siap untuk hanya beribadah kepada Allah saja, tunduk, taat dan patuh kepadanya, serta ada kesanggupan dari hati untuk menjauhi dan meninggalkan segala bentuk kekafiran dan kemusyrikin. Kemudian ia berjanji, bersumpah dan siap hanya meneladani Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah, serta ada kesanggupan hati pula untuk menjauhi dan meninggalkan segala bentuk kebid’ahan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa mengucapkan syahadatain merupakan syarat syahnya iman seseorang. Rosulullah bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَه وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقَِهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى الله
“Aku disuruh supaya memerangi manusia sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa. Jika mereka telah melakukan semua itu, maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan hisab mereka terserah kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Imam Nawawi berkata, “Hadist diatas menjelaskan tentang syarat syah diterimanya iman yaitu dengan mengikrarkan syahdataian dan meyakininya dengan sepenuh hati. Dan dituntut untuk mengimani segala sesuatu yang dibawa oleh Rosulullah saw..
Kemudian, syahadat merupakan syarat keislaman seseorang, hal ini sebagaimana telah diungkapkan Syaikhul ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Kaum muslilmin telah sepakat bahwa barang siapa yang belum mengucapkan syahadat, maka dia kafir. Padahal ia mampu mengucapkannya, tapi tidak mengikrarkannya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Rajab Al-hambali beliau berkata, barang siapa yang meninggalkan syahadatain, maka dia telah keluar dari dienul islam.
Dari pemaparan para ulama diatas menjadi jelaslah bahwa syahadat merupakan inti bahkan asas dari aqidah islamiyah. Dengannya manusia terpilah menjadi muslim atau kafir. Ringkasnya, Jika seseorang tidak mengikrarkannya, tidak meyakininya dan tidak melaksanakan tuntutan yang ada didalamnya, maka tidak dikatagorikan sebagai seorang muslim bahkan dilarang untuk memberikan loyalitas kepadanya sampai hari kiamat.

Syahadat menjaga darah, harta dan jiwa seseorang
Agama islam merupakan agama universal, ajarannya meliputi segala aspek kehidupan, bahkan semua lini telah dimasukinya. Dan yang terpenting dari semua itu adalah hukum-hukum yang berlaku dan aturan-aturan yang ditetapkan telah terkonsep dengan baik, hal itu bertujuan untuk mengatur pemeluk-pemeluknya supaya berjalan diatas syareat yang telah dirumuskan Allah Ta'ala. Contohnya, ketika seseorang mengucapkan syahadat la ilaha illallah, maka darah, harta, dan jiwa seseorang telah terlindungi. Beliau bersabda,
“Aku disuruh supaya memerangi manusia sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan semua itu, maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan hisab mereka terserah kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh Muslim). Dan Rosulullah telah bersabda,
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ الله حُرِّمَ مَالُهُ وَدَمُهُ
“Barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallah, dan mengkufuri sesembahan selain Allah, maka diharamkan harta dan darahnya.”
Inilah keagungan syahadat dengan mengikrarkannya jiwa, darah dan harta seseorang menjadi haram untuk ditumpahkan. Apakah cukup hanya dengan mengikrarkannya saja….? Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh mensyaratkan terpeliharanya harta dan darah dalam hadist diatas dengan dua hal:
Pertama: Mengucapkan la ilaha illallah dengan pengetahuan dan keyakinan. Kedua mengingkari (kufur) terhadap sesuatu yang disembah selain Allah. Maka tidak cukup hanya dengan pengucapan lafadz tanpa makna, akan tetapi harus ada pengucapan dan pengamalan.
Karena sesungguhnya Rosululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjadikan pengucapan saja, sebagai pelindung darah dan harta, bahkan bukan pula pengetahuan tentang artinya serta mengucapkannya, bukan pula pengakuan terhadap kebenarannya, dan juga bukan karena seseorang tidak menyeru kecuali hanya kepada hanya kepada Allah saja, yang tiada sekutu baginya. Bahkan darah dan harta tidak haram, kecuali dengan menambahkan kepada semua itu kekafiran terhadap apa yang disembah selain Allah. Jika ia ragu dan bimbang, maka harta dan darahnya tidak haram.
Al-Qhadi Iyadh berkata, “Pengkhususan terjaganya harta dan darah bagi yang mengucapkan la ilaha illallah adalah merupakan ungkapan bukti adanya sambutan iman. Yang dimaksud disini adalah orang-orang musyrik arab dan para penyembah berhala. Adapun selain mereka yaitu orang-orang yang mengakui tauhid maka tidak cukup dalam penjagaannya dengan mengucapkan la ilaha illallah, karena ia mengucapkan masih dalam kekafiran.
Syaikhul islam ketika ditanya tentang penyerangan terhadap bangsa tartar, beliau berkata, setiap kelompok yang menolak untuk melaksanakan syareat islam yang bersifat amaliyah zhahir, yaitu bangsa tartar dan yang lainnya, maka wajib diperangi sehingga mereka melaksanakan syareat Allah, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjalankan sebagian syareatnya.

Syahadat memasukan seseorang kedalam surga dan menjauhkannya dari neraka
Tiada tempat kembali yang lebih baik dan lebih mulia disisi Allah, melainkan syurganya dan meraih keridhaannya. Inilah yang dicita-citakan oleh semua orang, ini terbukti ketika dilontarkan pertanyaan kepada mereka, semua sepakat dan berharap dapat masuk kedalam syurga. Dengan apakah seseorang bisa menggapainya…?. Rosulullah telah memberi jawaban dari pertanyaan ini beliau bersabda,
فَإِنَّ الله حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إَلَّا الله، يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ الله
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan la ilah illallah (tiada sesembahan yang berhak selain Allah) dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah.” Dan Rosulullah bersabda,
“Barang siapa yang mengucapkan syahadat la ilaha illallah, niscaya akan masuk syurga, betapa pun amal yang telah diperbuatnya.”
Syaikh Abdurrahman hasan Alu Syaikh menjelaskan barang siapa bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Maksudnya, mengucapkannya dan mengetahui artinya serta mengamalkan tuntutannya, baik secara lahir maupun batin, niscaya Allah akan memasukannya kedalam syurga. Maka dalam dua syahadat itu harus ada pemahaman, keyakinan dan pengamalan yang ditunjukkan sebagaimana firman Allah, Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah. (QS. 47:19).
Adapun mengucapkannya tanpa memahami artinya dan tidak ada keyakinan serta pengamalan isi kandungannya, yaitu berlepas diri dari syirik dan ikhlas dalam ucapan dan perbuatan, maka menurut kesepakatan para ulama, hal itu tidak ada gunanya.
Syakhul islam dan lainnya berkata, hadist ini dan sejenisnya menerangkan bahwa, Allah menjanjikan syurga bagi orang yang mengucapkan la ilaha illallah, yaitu bagi orang yang mengucapkannya dan mati dalam keadaan bertauhid. Maka barang siapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan berhak disembah kecuali Allah secara ikhlas maka ia akan masuk syurga.
Dari penjelasan diatas terbukti bahwa syahadat tauhid merupakan kunci yang akan mengantarkan seseorang masuk kedalam syurga. Tentunya dengan melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya dan konsisten diatasnya sampai akhir hayat.

Berhak mendapatkan syafaat Nabi Muhamad saw
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Wahai Rosulullah siapakah orang yang berhak mendapakan syafaatmu kelak pada hari kiamat?” Rosulullah bersabda,

لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسَأَلَنِي عَنْ هَذَا الحَدِيْثِ أَوَّلُ مِنْكَ لَمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الحَدِيْثَ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أو نَفْسِهِ
“ Sungguh saya sudah mengira wahai Abu Hurairoh, bahwa tidak ada seseorang pun yang mendahuluimu bertanya mengenai hadist ini, karena saya melihat kamu sangat rakus terhadap hadits. Orang yang paling bahagia mendapatkan syafaatku, pada hari kiamat ialah orang yang mengatakan la ilaha illallah ikhlas dari hatinya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari bab, ilmu no. 99).
Ibnu Hajar Al-Asqolani, menjelaskan hadist ini bahwa, barang siapa yang mangikrarkan la ilaha illallah, dengan menjauhi segala bentuk kesyirikan dan kenifakkan, Niscaya kelak akan mendapatkan syafaat. Dan dalam hadist ini pula merupakan dalil yang mensyaratkan pelafadzan kalimat syahadat, karena Rosulullah mengungkapkannya dengan “ Barang siapa yang berkata”. Maksud dari hadist ini adalah orang yang paling berbahagia kelak pada hari kiamat yang mendapatkan syafaatnya adalah orang mukmin lagi mukhlis.

Kalimat yang paling agung
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau berkata, “Saya mendengar Rosulullah Saw bersabda,”
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Dzikir yang paling utama (diucapkan oleh seseorang) adalah la ilaha illallah.” (Diriwayatkan oleh Thirmidzi, hadist hasan shahih).
Imam Nawawi didalam kitabnya “Nuzhatul Mutaqin” menjelaskan hadist diatas bahwa, kalimat tauhid merupakan kalimat yang paling utama untuk diucapkan, karena didalamnya mengandung penetapan pada keesaan Allah, serta penafian (peniadaan) dari segala bentuk kesyirikan. Kalimat tersebut juga merupakan kalimat yang paling utama diucapkan oleh para nabi, karenanya mereka diutus, dibawah panjinya mereka berperang, dengan menegakkannya mereka mendapatkan kesyahidan, dan kalimat tersebut adalah kunci pembuka syurga serta penyelamat dari neraka.

Refrensi:
Fathul Majid
Nawaqidul iman Al-I’tiqodiyah
Syarh Aqidah at-thohawiyah
Madkhol
Ar-Rhahiqu Makhtum
Nuzhatul Mutaqin
Tafsir Al-Jami’ liahkamil qur’an
Fathul Baari



Read More..

Rabu, 14 Juli 2010

Laa Ikroohaa Fieddien

Laa Ikroohaa Fieddiennnn, yang berarti tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Baqoroh: 256, sangat sering sekali dijadikan dalih akan kebebasan dalam beragama, adanya toleransi agama, saling menghormati, tidak memaksakan kehendak dalam keyakinan dan yang semisal dengannya.

Banyaknya orang yang mengaku sebagai cendekiawan muslim, justru hanya menebarkan keraguan di tengah masyarakat Islam. Adanya keyakinan masyarakat akan kebenaran dienul Islam dan kewajiban untuk mendakwahkannya, akan menjadi punah disebabkan oleh keraguan tadi. Maka untuk menepis keraguan tadi perlu kita teliti kembali apa yang dimaksudkan ayat tersebut, yang tentunya dengan melihat kembali bagaimana ulama mensikapinya.

Menurut Al-Baidhowy (Tafsir Baidhowy:1/557) kata “laa ikrooha” sebenarnya lebih kepada arti pemaksaan untuk melakukan sesuatu yang tidak ada kebaikan di dalamnya. Padahal sudah jelas perbedaan antara keimanan dan kekafiran. Keimanan merupakan petunjuk yang akan menyampaikan kepada kebahagiaan yang kekal, adapun kekafiran kesesatan yang menuju kepada kecelakaan. Seorang yang berakal akan segera mengikuti petunjuk ketika ia datang, karena menginginkan keselamatan dan keberuntungan dan sangat tidak membutuhkan paksaan atas hal demikian.

Dalam mensikapi ayat tersebut, yang bunyi lengkap ayat tersebut sebagai berikut:
"لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ"
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa ingkar kepada thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha Mengetahui”. Qs. Al-Baqoroh: 256

Alqurthubi diantaranya menjelaskan (Al-Jami’ liahkaamul qur’an 3/280), para ulama telah berselisih pendapat mengenai arti dari ayat di atas: Pertama, bahwa ayat tersebut telah terhapus, karena Nabi saw telah memaksa penduduk Arab memeluk Islam. Dan sakali-kali tidak rela kecuali hanya Islam saja. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sulaiman bin Musa, bahwa ia telah dihapus dengan turunnya ayat,”Wahai Nabi, perangilah orang-orang Kafir dan Munafiq”. Pendapat pertama ini telah dibawakan oleh Ibnu Mas’ud dan banyak dari kalangan Ahli Tafsir.

Kedua, Ayat tersebut tidak dihapus, melainkan ayat itu turun terkhusus untuk kalangan Ahli Kitab. Mereka tidak akan dipaksa masuk Islam bila membayar Jizyah. Adapun para penyembah berhala, tidak ada pilihan lain kecuali Islam. Dan mereka inilah yang dimaksud oleh ayat tadi,” Wahai Nabi, perangilah orang-orang Kafir dan Munafiq”. Pendapat ini telah dikatakan oleh Asy-Sya’bi, Qotadah, Al-Hasan, dan Dihaq. Adapun alasannya adalah sebuat hadits yang telah diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dari ayahnya ia telah berkata, aku telah mendengar Umar bin Khottob ra. Berkata kepada seorang nenek Nasroni,” masuklah engkau ke dalam Islam tentu akan selamat, Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran”. Si nenek Menjawab,”saya sudah tua renta, kematian pun sudah dekat”. Maka Umar pun berkata,”Yaa Allah saksikanlah”. Dan Ia membacakan ayat,”laa Ikrooha Fieddien”.

Ketiga, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas ia berkata,”ayat ini turun atas kaum Anshor. Suatu ketika ada seorang wanita yang tidak memiliki anak, lalu dia berjanji bila dia dikaruniai anak akan ia yahudikan. Maka ketika penduduk Banu Nadhir diusir, di dalamnya ada dari kalangan Anshor, mereka mengatakan,”kami tidak akan meninggalkan anak-anak kami”. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat tersebut.

Keempat, menurut As-Sady, ayat ini telah turun berkenaan dengan seorang Anshor yang bernama Abu Husain. Dia memiliki dua orang anak laki-laki. Ketika serombongan pedagang datang dari Syam menuju Madinah dengan membawa minyak. Ketika mereka hendak berangkat, mendadak keduanya mendatangi mereka, mereka pun mengajaknya memeluk agama nasroni, sehingga ia pun masuk agama Nasroni dan berlalu bersama mereka menuju Syam. Melihat kenyataan demikian sang Ayah pun mendatangi Rosulullah saw dengan mengutarakan permasalahannya, ia mengharapkan Rosulullah saw agar Rosulullah saw mengutus seseorang mengembalikan dua anaknya itu. Maka turunlah ayat tersebut. Pada waktu itu Rosulullah saw belum diperintahkan untuk memerangi Ahli Kitab. Dan Rosulullah saw berkata,”semoga Allah menjauhkan keduanya, keduanya termasuk mereka – mereka yang pertama kali kafir. Kekecewaan Abu Husain kepada Rosulullah saw muncul ketika tidak dikabulkannya permintaan tersebut. Lalu Allah menurunkan ayat,” Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” An-Nisa : 65.
Maka ayat diatas telah menghapus ayat laa ikrooha fieddien, yang kemudian diperintahkan memerangi Ahlu Kitab sebagaimana tertera dalam surat Al-baro’ah.

Kelima, tidak ada paksaan bagi yang sudah menyerah di bawah pedang untuk memeluk Islam. Yang bisa jadi pilihan diaadalah membayar jizyah kepada kaum muslimien.

Menurut Al-Baidhowy (Tafsir Baidhowy:1/557), Ayat di atas merupakan berita yang menyimpan makna larangan. Tapi ayat tersebut hanya ada dua kemungkinan saja; bisa jadi mengandung arti Amm yang telah dihapus oleh firman Allah,”…perangilah orang-orang kafir dan munafiqien…” bisa jadi mengandung arti Khoss kepada Ahli Kitab. Yang dalam tafsir As-son’any 1/102 dikatakan, bila mereka telah tunduk kepada kekuasaan Islam sehingga membayar jizyah.

Read More..

MENGGAPAI SURGA DENGAN ISTIQOMAH

oleh: Nur Kholis Faturrohim.


""""Pada akhir zaman nanti orang yang memegang sunnah Nabi Muhammad SAW` (mengikuti sunnah Rosululloh SAW`) ibarat memegang bara api…………….""""
Itulah gambaran betapa sulitnya tsabat (teguh) diatas manhaj kebenaran yang berlandaskan Al-qur'an dan Sunnah.

Alloh swt berfirman
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Artinya," Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
istiqomah adalah jalan yang jitu untuk mendapatkan surga setelah mereka beriman kepada alloh swt . Sebuah janji alloh swt yang pasti kebenarannya dan tidak diragukan lagi. Akan tetapi untuk merealisasikannya bukanlah perkara yang mudah, mereka harus rela berkorban waktunya, hartanya, bahkan nyawanya demi tetap istiqomah diatas jalan kebenaran. Banyak dari sahabat-sahabat rosululloh saw yang mengukir sejarah dengan darah kala ujian menghampirinya, sahabat bilal bin robbah, sahabat amar bin yasir, sahabat mus'ab bin umair dan masih banyak lagi sahabat-sahabat Rosululloh saw . Sebaliknya banyak juga dari sahabat Nabi saw yang gugur dari ujian tadi padahal hanya permasalahan yang sangat sepele, salah satunya adalah Rojal bin kunfuwah, salah seorang sahabat Rosululloh ` yang murtad ketika pemberantasan Nabi palsu yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-sidiq dan terkenal dengan perang Yamamah
Tidak menuntut kemungkinan ujian yang dialami oleh para sahabat tadi akan kita temui yang akan menghadang kehidupan kita. Padahal kita tidak tahu kapan maut menjemput kita. Lantas apakah kita mau mati dalam keadaan su'ul khotimah…? tentu saja tidak, pastilah husnul khotimah yang kita inginkan. maka sudah menjadi kewajiban bagi pribadi mukmin tiap saat dan tiap waktu untuk beristiqomah untuk memegang al-quran dan sunnah serta melaksanakan perintah alloh f dan Rosul-Nya.
Ada beberapa tips untuk menjaga keistiqomahan sampai ajal menjemputnya, diantaranya adalah:

1. . Mengikhlaskan niat saat melakukan amalan-amalan ketaatan
Inilah pintu yang utama, yaitu pintu yang dapat mengantarkan seseorang untuk dapat istiqamah dalam hidupnya sehingga ia dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan bahagia. Alloh ta'ala berfirman.;
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Tuhannya dengan seorangpun dalam melakukan ibadah kepada-Nya”. (Al-Kahfi: 110)
Setiap mukmin harus mengiklaskan niat setiap beramal, dan membersihkan hatinya dari sifat ingin dipuji dan didengar orang lain, dan tujuan-tujuan duniawi yang lainnya saat melakukan ketaatan kepada alloh ta'ala.
Jika harus senantiasa mengoreksi, memperbaharui, dan menjaga niat amalan kita agar selau hanya untuk Alloh f , mengapa tidak, bahkan suatu keharusan.

2. Muroqobah
Muroqobah adalah perasaan seorang hamba akan control ilahiah dan kedekatannya dirinya kepada alloh atau dalam artian yang lain merasa diawasi diawasi oleh alloh f. Hal ini diimplementasikan dengan mentaati seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, serta memiliki rasa malu dan takut, apabila menjalankan hidup tidak sesuai dengan syariat-Nya. Alloh f berfirman,;
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya, “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadiid (57) : 4)
Rasulullah saw. bersabda-ketika ditanya tentang ihsan, “Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” (HR al-Bukhari)

3. Membaca Siroh As-Salafussholeh
Ini factor yang penting untuk menjaga keistiqomahan dalam meniti kebenaran. Karena membaca perjalanan hidup orang yang zuhud akan mentarbiyah hatinya supaya zuhud. Membaca perjalanan hidup para mujahid dan para syuhada' akan menjadikan hatinya ingin seperti mereka, dan berandai-andai menjadi salah satu diantara mereka. Bahkan dengan membacanya seseorang dapat merasakan bahwa dirinya tengah hidup.

4. memilih teman yang baik.
Sudah sering kita dengar hadits yang masyhur dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gambaran teman yang baik dan teman yang buruk, dimana Beliau ` mengumpamakan teman yang baik sebagai penjual minyak wangi dan teman yang buruk sebagai tukang pandai besi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“ Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Tentang si penjual minyak wangi, kalau engkau tidak membeli minyak wanginya maka engkau akan medapatkan bau wanginya. Adapun tentang si tukang pandau besi, kalau engkau atau bajumu tidak terbakar maka engaku akan mendapatkan bau yang tidak enak.” (HR. Bukhori, no 1959)
Teman yang baik akan membantu kita untuk dapat istiqamah di jalan Allah, namun sebaliknya teman yang buruk akan menggelincirkan kita dari jalan istiqamah dan bahkan justru dapat mencelakakan kita. Kalau kita ingat sejarah nabawiyah, paman Rosululloh, Abu Thalib, yang di akhir hayatnya enggan mengucapkan syahadat, karena apa? Karena teman yang buruk saudaraku. Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah di samping nya selalu menimpali perkataan Rosululloh, mereka mengingatkan terus tentang agama leluhurnya, dan akhirnya teman yang buruk tersebut menjadi sebab kehancuran dirinya.

5. Mengunjungi orang-orang sholeh
Salah satu faktor untuk menjadi tsabat dijalan alloh yang memiliki pengaruh besar adalah mengunjungi orang-orang sholeh, para mujahid, ahli ibadah dan lain sebagainya. Jika perjumpaan dengan mereka saja bisa menjadi bekal dijalan iman, lalu dengan bermajlis bersama mereka,mendengarkan mereka, belajar dari mereka. Otomastis memiliki nilai lebih, karena mereka selalu mengingatkan kepada akherat, dan mengingatkan kepada kematian.

6. Mu'ahadah
Mu’ahadah yang dimaksud di sini adalah iltizamnya seorang atas nilai-nilai kebenaran Islam. Hal ini dilakukan kerena ia telah berafiliasi dengannya dan berikrar di hadapan Allah SWT.
Ada banyak ayat yang berkaitan dengan masalah ini, diantaranya adalah sebagai berikut.
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنْقُضُوا الأيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
Artinya,“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (an-Nahl (16) : 91)
Dan alloh juga berfirman,:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (al-Anfaal (8) : 27)

7.Muhasabah
Muhasabah adalah usaha seorang hamba untuk melakukan perhitungan dan evaluasi atas perbuatannya, baik sebelum maupun sesudah melakukannya. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr (59) : 18)
Rosululloh ` bersabda yang artinya,:
“Orang yang cerdas (kuat) adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk hari kematiannya. Adapun orang yang lemah adalah orang yang mengekor pada hawa nafsu dan berangan-angan pada Allah.” (HR. Ahmad)
Umar bin Khattab ra berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang ….”

8. Mu'aqobah
Mu’aqabah adalah pemberian sanksi oleh seseorang muslim terhadap dirinya sendiri atas keteledoran yang dilakukannya.
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah (2) : 179)
Generasi salaf yang soleh telah memberikan teladan yang baik kepada kita dalam masalah ketakwaan, muhasabah, mu’aqabah terhadap diri sendiri jika bersalah, serta contoh dalam bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan dirinya lalai atas kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa contoh di bawah ini.
1. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab ra pergi ke kebunnya. Ketika ia pulang, maka didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan Shalat Ashar. Maka beliau berkata, “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat Ashar! Kini, aku menjadikan kebunku sedekah untuk orang-orang miskin.”
2. Ketika Abu Thalhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung, lalu beliau pun melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena kejadian tersebut, beliau mensedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang miskin, sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.

9. Mujahadah (Optimalisasi)
Mujahadah adalah optimalisasi dalam beribadah dan mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Islam dalam kehidupan.
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya…” (al-Hajj (22) : 77-78)
“Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Aisyah ra. pun bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan hal itu, padahal Allah telah menghapuskan segala dosamu?’ Maka, Rasulullah saw. menjawab, ‘Bukankah sudah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur.’” (HR. al-Bukhari Muslim)

10. Berdo'a kepada alloh untuk diberi keistiqomaah.
Saudaraku, do’a adalah senjata seorang muslim yang paling ampuh. Oleh karena itu hendaklah seorang muslim banyak berdo’a kepada Allah agar diberikan keistiqamahan.Dai antara do’a yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
يا مقلب القلوب ثبّت قلبي على دينك
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku untuk selalu berada di atas agama-Mu” (HR. Tirmidzi, no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”)
Rosululloh yang dijamin Allah masuk surga masih berdoa meminta perlindungan Allah, apalagi kita yang iman nya sangat sangat tipis dan labil.



Read More..

HUKUM-HUKUM HAID  

Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:

1. Shalat.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak wajib  baginya mengerjakan   shalat,  kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha'  shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid  sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya,  setelah bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama - sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua - sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu. (Hadits Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalatAshav itu ': (Hadits muttafaq 'alaih).
Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal. 70.)
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah  ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur'an, maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  pemah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lain beliau membaca Al Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda: "Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha - serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa orang-orang yang beriman.
Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.
Sedangkan membaca Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari ",serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  dalam  Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur'an.
Sedangkan pernyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al qur 'an "  adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  kaum wanita pun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang  dijelaskan  Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, diketahui para isteri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para sahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan  bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur'an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.

2. Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa  yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha: "Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempuma dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi  setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya:
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).

3. Tawaf
Diharamkan  bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah: "Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya saja jangan melakukan rhavaf di Ka'bah sebelum kamu suci.
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.

4. Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan seluruh manasik haji dan  umrah, lain datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai ia  keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'. Dasarya, hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma: "Diperintahkan kepada jemaah haji  agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di  Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda kepadanya: "Kalau demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.

5. Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits Ummu Athiyah Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi  wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).

6. Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi sang isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala:  "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran': Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktuu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah: 222)
Yangdimaksud dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluamya yaitu farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits riwayat Muslim).
Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima ' dengan isterinya yang sedang haid dalam farjinya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalallkan senggama dengan isteri yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima' (senggama), seperti: berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina).
Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali jika sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan  hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiallahu 'anha: 74. "Pemah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq 'alaih).
 
7. Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala: "Hai Nabi, apabila Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ... "(Ath-Thalaq: 1) Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil  atau suci sebelum digauli.
Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah.
Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan; danjika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."
Dengan demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
1.Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman : "….Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddahnya (yang wajar)…" (Ath-Thalaq : 1)
2.Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3.Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh(penggantian), maka boleh bagi suami menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami-isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma: "Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  dan berkata : "Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : "Maukah kamu mengembalikan kepadanya?" Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda (kepada suaminya): "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  tidak bertanya apakah si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun, jika memang diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam keadaanhaid: "Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat (bahaya) bagi si isteri  dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu ' adalah  untuk  menghilangkan  madhmat  bagi  si  isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan  tinggal  bersama  suami  yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri  daripada   menunggu  lamanya  masa  'iddah,  maka diperbolehkan menghindari madharat  yang  lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta Khulu' tentang keadaannya."
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun, perlu dipertimbangkan  bila  suami diperkenankan berkumpul dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.

8. Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya,maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…" (Al-Baqarah : 28).
Tiga kali guru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka  iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah: "….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami  haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan ber-iddah dengan haid itu.
Namun jika sebab itu sudah tidak ada,seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidakjelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan:  sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk  kemungkinan hamil(karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah : "Hai orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,  kemudian  kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta menyempurnakannya.. " (Al-Ahzaab: 49 )

9. Keputusan bebasnya rahim.
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya,  maka kita  hukumi bahwa janin yang dikandungnya   mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang  pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.

10. Kewajiban mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: "Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda: "Hendaklah seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu sempurna, kemudian menguyurkan air diatas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata keseluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu mengambil sehelai kain putih yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. 'Asma bertanya: "Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab: "Subhanallah." Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata: "Ikutilah bekas-bekas darah." (HR. Muslim )
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepaskannya untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain "untuk (mandi) haid danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci."
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya:
''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
Read More..