Sabtu, 25 September 2010

Benarkah Daging Anjing Halal ?‎

Beberapa waktu yang lalu terdengar ditelinga kaum muslimin, sebuah pendapat yang ‎menyatakan bahwa halalnya memakan daging anjing. Sehingga dirasa hal ini aneh, maka ‎sebagian kaum muslimin pun bertanya-tanya, benarkah pendapat tersebut ?. Dan kalau ‎memang pendapat tersebut dibenarkan oleh syariat islam mengapa seakan baru muncul di ‎permukaan pengetahuan kaum muslimin sekarang?‎

Dianggap perlunya permasalahan ini untuk dikaji ulang secara obyektif. Maka dalam hal ‎ini penulis berusaha mencoba memaparkan data dan fakta yang ada. Kemudian ‎menguraikannya ke dalam sebuah bentuk makalah, yang semoga menjadikan tulisan ini ‎dapat dipahami secara bersama dan dapat dipertimbangkan sesuai kadar yang dikandung ‎didalamnya. Dan tentunya hal itu diharapkan tidaklah keluar dalam bingkaian sumber ‎hukum al Quran dan as Sunnah. Wallahua'lam.‎


Telisik Data Dan Fakta
Memakan daging anjing adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ‎ulama. Hal ini sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh beberapa dalil berikut ini : ‎
‎1. Anjing termasuk hewan buas bertaring yang haram untuk dimakan. ‎
‎ Mayoritas ulama sepakat akan keharaman binatang buas yang bertaring kuat, ‎dengannya ia menyerang mangsanya dan menundukkannya, kecuali anjing laut. Ini ‎adalah pendapat; imam Malik, asy Syafi’i, Abu Tsaur, Ashhabul Hadits dan Abu ‎Hanifah serta sahabat-sahabatnya.‎
Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam beberapa hadits rasulullah ‎saw :‎
عَنْ أَبِي إِدرِيس الخَوْلانِي عَنْ أَبِي ثَعْلَبَة الخُشَنِي أَنَّ رَسولَ اللهِ صلَى اللهُ عليهِ وَسلَمَ نَهى عَنْ أَكْلِ كُل ذِي نَابٍ ‏مِنَ السِبَاعِ
Dari Abu Idris al Khaulani dari Abi Tsa’labah al Khusyani Radiyallahu'anhu (ia ‎berkata), “Sesungguhnya Rasulullah n melarang memakan setiap binatang buas yang ‎bertaring”.‎
عَنْ مَيْمُون بنِ مَهْرَان عَنْ ابنِ عَبَاس قاَلَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَليه وَسَلَمَ عَنْ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِباَعِ، ‏وَكُل ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَيْرِ
Dari Maimun bin Mahran dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu, ia berkata, ‎‎"Rasulullah n melarang memakan setiap bintang buas yang bertaring dan setiap burung ‎yang bercakar (buas).‎
عَنْ عُبَيْدَة بنِ سُفْيَان الحَضْرَمِي عن أبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: (( أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ ‏مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ))‏
Dari Ubaidah bin Sufyan dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, (ia berkata) ‎sesungguhnya Rasulullah n bersabda, “Memakan setiap binatang buas yang bertaring ‎adalah haram”.‎
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata; ‎
هَذَا حَدِيثٌ ثَابِتٌ صَحِيحٌ مُجْمَعٌ عَلَى صِحَّتِهِ .‏

‎“ Ini adalah hadits yang tsabit, shahih dan telah disepakati akan keshahihannya (oleh ‎para ulama') ".‎
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Mughny :‎

َهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ يَخُصُّ عُمُومَ الْآيَاتِ ، فَيَدْخُلُ فِي هَذَا الْأَسَدُ ، وَالنَّمِرُ ، وَالْفَهْدُ ، وَالذِّئْبُ ، وَالْكَلْبُ ، ‏وَالْخِنْزِيرُ .‏

‎"Dan hadits ini adalah Nash yang sharih (jelas), yang (juga) mengkhususkan dari ‎keumuman ayat (‎قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ‎)‎ ‎, maka macam hewan yang ‎ada didalam petunjuk hadits ini mencakup singa, macan tutul, macan kumbang, srigala, ‎anjing dan babi (atau beberapa hewan lainnya yang memiliki kriteria dalam hadits ‎tersebut,-pen)" ‎ ‎.‎
Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa' menyebutkan suatu pendapat yang ‎menunjukkan bahwa hewan tersebut haram menurutnya, yaitu pendapat yang diucapkan ‎beliau setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah diatas. Beliau berkata: ‎
وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا
‎"Demikian pula halnya (haram) menurut kami." ‎

‎2.‎ Petunjuk diharamkannya jual beli anjing. Hal ini sebagaimana tersebut dalam ‎sabdanya :‎
ثمَنُ الكَلْبِ خَبِيْثٌ وَمَهْرُ البَغْيِ خَبِيْثٌ وَحلوَانُ الكَاهِنِ خَبِيْثٌ
‎" Uang hasil jual beli anjig adalah kotor, uang bayaran pelacur adalah kotor, dan ‎upah seorang peramal adalah kotor ".‎
عَنْ أَبِي مَسْعُود الأَ نْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (( أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمنِ الكَلْبِ وَمَهرِ ‏البَغْيِ وَحلوَان الكَاهِنِ))‏
Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radiyallahu 'anhu (ia berkata)," Sesungguhnya ‎Rasulullah n melarang memakan hasil dari jual beli anjing, uang bayaran pelacur dan ‎upah seorang peramal."‎ ‎ ‎
Sehingga kalau harganya/jual belinya terlarang, maka dagingnya pun haram untuk ‎dimakan. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah  :‎
‎“Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan ‎sesuatu, maka (Allah) haramkan harganya (jual beli) atas mereka”. ‎

‎3. Petunjuk diharamkannya memelihara (memiliki) anjing.‎
Karena memeliharanya akan mengurangi pahala pemeliharanya setiap hari. Bila ‎memakan daging anjing dibolehkan maka memeliharanya tentu diperbolehkan, namun ‎dikecualikan anjing berburu, penjaga kebun, dan penjaga ternak.‎
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah n :‎
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( مَنْ اتَّخَذَ كَلْباً إِلَّا كَلبِ صَيْد أَوْ زَرع أَوْ ‏مَاشِية نتقصُ مِنْ أَجْرِهِ كُل يَوْم قِيْرَاط))‏
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, telah bersabda Rasulullah n : “Barang ‎siapa memelihara anjing, selain anjing untuk memburu, penjaga kebun atau penjaga ‎ternak, maka berkurang pahalannya disetiap hari satu qirath”‎ ‎.‎
عَنْ سُفْيَان بْنِ أَبِي زُهَيْر الشَنَائِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: (( مَنْ ‏اقنَى كَلْباً لاَ يغْني عَنْهُ زَرعاً وَلاَ ضرعاً نقص مِنْ عَمَلِهِ كُل يَوْم قِيْرَاط))‏
Dari Sufyan bin Abu Zuhair Asy Syana’iy Radiyallahu 'anhu berkata," Aku ‎mendengar Rasulullah n bersabda : “Barangsiapa yang memelihara anjing bukan untuk ‎dijadikan sebagai penjaga kebun atau untuk berburu maka berkurang pahala (orang ‎yang memeliharanya) disetiap hari satu qirath”‎ ‎.‎
Dalam lafadz yang lain dari Ibnu Umar : ‎
نقص كُل يَوْم قِيْرَاطَانِ
‎ “Berkurang pahalanya setiap hari dua qirath”‎ ‎.‎

‎4. Perintah Rasulullah n untuk membunuh anjing.‎
‏ عَنْ ابنِ عُمَر (( أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الكِلاَبِ إِلاَّ كَلْبِ صَيْدٍ أَوْ كلبِ مَاشِيَةٍ))‏
Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma (ia berkata), " sesungguhnya Rasulullah n ‎memerintahkan untuk membunuh anjing, kecuali anjing untuk memburu atau anjing ‎untuk menjaga ternak."‎
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: (( أَمَرَناَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِقَتْلِ كُل الكِلاَبِ حَتَّى أَنّ المَرْأَةَ تقدم مِنِ البَادِيَةِ ‏بِكَلْبِهَا فَنَقْتُلُهُ ثُمّ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ قَتْلِهاَ وَقَالَ عَلَيْكُمْ باِلأَسْوَدِ البَهِيْمِ ذِي النُقْطَتَيْنِ ‏فَإِنّه شَيْطَانٌ))‏
Dari Jabir radhiallahuanhu berkata : Rasulullah ` memerintahkan kepada kami ‎untuk membunuh seluruh anjing. Bahkan ketika seorang wanita badui datang dengan ‎seekor anjingnya kamipun membunuh anjing tersebut, kemudian Rasulullah  melarang ‎untuk membunuhnya dan bersabda: “Bunuhlah anjing ‎‏ ‏yang hitam pekat, yang memiliki ‎dua titik, karena sesungguhnya ia adalah syaitan."‎

Syubhat dan Bantahannya ‎


Pertama : Ada sebagian ulama yang berpendapat tentang halalnya atau mubahnya setiap ‎binatang buas yang bertaring (anjing contohnya dalam hal ini). Ini adalah pendapat Asy ‎Sya’bi, Said bin Zubair dan sebagian Madzhab Maliki,‎ ‎ mereka berpegang dengan ‎beberapa hujjah berikut ini :‎

a)‎ Firman allah  dalam beberapa surat, diantaranya :‎

‎- Surat al An'am ayat 145 :‎
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً‎ ‎أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ ‏رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا‎ ‎أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ‎ ‎رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
‎" Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, ‎sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan ‎itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu ‎kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam ‎keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, ‎maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."‎
‎- Surat an Nahl ayat 115 :‎
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ‎ ‎الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ‎ ‎فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ ‏رَحِيمٌ‎ ‎
‎"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, ‎daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang ‎siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui ‎batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."‎
‎ ‎
‎ - Surat al Baqarah ayat 173 :‎
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ‎ ‎الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ‎ ‎فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ ‏اللَّهَ‎ ‎غَفُورٌ رَحِيمٌ
‎"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi ‎dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa ‎dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak ‎‎(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha ‎Pengampun lagi Maha Penyayang."‎

Dari ketiga ayat diatas mereka katakan :‎


‎1.‎ Hewan yang diharamkan allah swt dalam ayat-ayat tersebut hanyalah terbatas empat ‎saja, yaitu : bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan binatang yang disembelih ‎atas nama selain Allah. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa dalam surat al ‎Baqarah : 173 dan an Nahl : 115 disana terdapat kata ‎إنّما‎ yang berkedudukan sebagai ‎alat pembatasَ أدَاةُ الحَصْرِ ) ‏‎), dan ini menunjukkan bahwa hanya hewan tersebut saja yang ‎diharamkan oleh allah swt.‎


‎2.‎ Selain dari pada itu mereka menyatakan menolak hadits-hadits yang mengkhususkan ‎nash yang bersifat umum dari penggalan ayat 145 surat al An'am :‎
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه
Dengan alasan, bahwa sunnah/hadits tidak bisa mengkhususkan ayat yang umum ‎yang telah di takhsish dengan firman allah selanjutnya dalam ayat tersebut, yaitu ‎kelanjutan firman-Nya yang berbunyi :‎
‏ ....إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً‎ ‎أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا‎ ‎أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه.....‏
Atau dengan ayat lainnya dalam surat al Baqarah : 173 dan surat an Nahl :115.‎
‎ Kami jawab :‎
‎1)‎ Bahwa surat an An'am dan an Nahl adalah surat Makiyah, yaitu surat yang ‎diturunkan di Mekkah tatkala beliau rasulullah ` belum hijrah ke madinah. Dan ‎diturunkannya ayat-ayat ini untuk menolak orang-orang jahiliyah dalam ‎mengharamkan bahiirah (unta yang dibelah telinganya), saa'ibah (unta yang ‎dilepaskan pada zaman jahiliyyah untuk suatu nadzar dan lainnya), washilah ‎‎(anak domba jantan yang lahir kembar dengan betina) serta haami (unta untuk ‎penjagaan yang diberikan untuk berhala). Dan menghalalkan bangkai dan yang ‎lainnya, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Selain itu ayat ini diturunkan ‎untuk menjelaskan kepada mereka bahwa mengharamkan yang halal dan ‎menghalalkan yang haram adalah suatu cara yang salah yang salah dan dugaan ‎yang batal. Sehingga tidak ayal jika ketika itu Allah memutuskan bahwa yang ‎diharamkan hanya empat binatang saja.‎
Kemudian setelah beliau hijrah ke madinah (ketika itu kondisi umat islam ‎mulai mapan), maka allah menurunkan lagi beberapa wahyu dalam al quran ‎maupun sunnah rasul ` tentang hewan-hewan apa saja yang diharamkan, sebagai ‎wahyu tambahan dari hewan-hewan yang telah diharamkan sebelumnya.‎ ‎ ‎Semisal surat al maidah : 3 dan beberapa hadits rasulullah saw yang menjelaskan ‎tentang haramnya hewan-hewan selain 4 kriteria hewan dalam ayat-ayat diatas. ‎Misalnya ; setiap hewan buas yang mempunyai taring (dalam hal ini anjing ‎contohnya), setiap burung yang mempunyai cakar dan yang lainnya.‎
Sehingga dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada ‎dasarnya ayat-ayat tersebut memberitahukan bahwa pada waktu itu (sebelum ‎hijrah di makkah) tidak ada yang diharamkan selain empat perkara tersebut. ‎Namun kemudian setelah beliau hijrah ke madinah allah menurunkan lagi ‎beberapa wahyu dalam al quran maupun sunnah rasul saw tentang hewan-hewan ‎apa saja yang diharamkan, sebagai wahyu tambahan dari hewan-hewan yang ‎telah diharamkan sebelumnya.‎

‎2)‎ Sedangkan mengenai firman Allah  dalam surat al Baqarah : 173, walaupun ia ‎merupakan madaniyah (yang turun ketika beliau telah hijrah ke Madinah) namun ‎ketika itu beliau Rasulullah ` belum lama tinggal di madinah. Atau mungkin ‎beliau telah lama tinggal di Madinah namun Allah l belum menurunkan wahyu-‎Nya kepada Rasulullah , tentang tambahan hewan yang diharamkan selain ke ‎empat binatang tersebut pada mulanya. Yakni ayat ke-3 dari surat al Maidah dan ‎beberapa hadits beliau .‎

‎3)‎ Firman Allah l dalam surat al Maidah : 3 yang berbunyi ;‎

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ‎ ‎الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ‎ ‎وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ ‏وَالنَّطِيحَةُ وَمَا‎ ‎أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ‎ ‎تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ ‏الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا‎ ‎مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ‎ ‎دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ ‏نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا‎ ‎فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ‎ ‎رَحِيمٌ
‎"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging ‎hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, ‎yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat ‎kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk ‎berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi ‎nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir ‎telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut ‎kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan ‎untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ‎Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena ‎kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun ‎lagi Maha Penyayang."‎
Sebenarnya dari ayat ini pun terjadi kontradiksi (apabila kita hubungkan ‎dengan dhahir ayat-ayat diatas). Yaitu kalau memang yang diharamkan hanya ‎empat hewan saja, mengapa allah swt juga mengharamkan setiap hewan yang ‎tercekik, yang di pukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam hewan ‎buas serta yang disembelih untuk berhala ?. ‎
Abu Umar Ibn Abdil Barr menambahkan, bahwa konsekuensi bagi mereka ‎yang mengatakan,"tidak adanya hewan yang diharamkan kecuali apa yang telah ‎tersebut dalam ayat tersebut …" adalah mereka menghalalkan hewan yang di ‎sembelih tanpa menyebut nama allah secara sengaja dan menghalalkan khamr, ‎padahal ini telah di sepakati keharamannya oleh para ulama.‎
Imam Ibnu katsir rahimahullah dalam kitabnya Tafsir al Quranul 'Adzim, ‎ketika menjelaskan penafsiran dari surat al An'am : 145 beliau katakan, " sehingga ‎apa saja yang telah disebutkan dalam surat al Maidah (ayat ke-3) dan dalam ‎beberapa petunjuk hadits yang ada (yakni perihal haramnya beberapa jenis ‎makanan yang tidak hanya terbatas empat jenis binatang), telah ‎mengangkat/menggugurkan pemahaman ayat ini (dari yang diharamkan hanya ‎empat jenis binatang saja menjadi bertambah lebih dari itu)."‎ ‎ ‎
‎4)‎ Adapun pernyataan mereka yang kedua, ini perlu di koreksi kembali, karena :‎
• Berbagai alasan dari jawaban/bantahan kami pada ketiga point diatas.‎
• Kalau dinyatakan bahwa ayat tersebut umum sehingga tidak bisa dikhususkan lagi ‎dengan hadits-hadits Rasulullah  yang jelas keshahihannya, dan mencukupkan diri ‎dengan kelanjutan firman allah tersebut dalam surat al an'am atau dalam ayat yang ‎lain sebagai pengkhusus, maka pernyataan ini adalah bathil tak berdasar. Tidakkah ‎kita lihat bagaimana pandangan ushuliyyun (ahli ushul fiqh) dalam menyikapi ‎pengkhususan al Quran dengan as Sunnah ?.‎
Dan perlu diketahui, bahwa memang benar al Quran adalah wahyu pertama yang ‎tidak bisa diganggu gugat lagi ke-qath'iyannya/kepastiannya. Namun demikian hal itu ‎tidak bisa menafikan as sunnah/ hadits rasulullah  begitu saja, walaupun ia ‎merupakan wahyu kedua setelah al Quran. Hal ini karena as sunnah memiliki ‎kedudukan yang sangat tinggi terhadap al Quran. Yaitu sebagai tabyinul ‎quran/penjelas baginya. Dan salah satu dari bentuk tabyinul quran adalah takhshishul ‎quran (mengkhuskan nash al quran jika dianggap itu bersifat umum).‎ ‎ ‎
Kemudian dalam menyikapi sunnah sebagai pentakhshish al Quran/al Kitab ini, ‎mereka (ahli ushul fiqh) telah bersepakat bahwa apabila hadits/sunnah tersebut ‎kedudukannya mutawatir maka hal itu di perbolehkan. Adapun jika berkedudukan ‎sebagai hadits ahad maka jumhur ulama' pun membolehkannya secara mutlaq ‎. Ibnu ‎al 'Araby rahimahullah secara tegas menyatakan, "mereka telah bersepakat bahwa ‎diperbolehkannya sunnah mentakhsish al quran apabila derajatnya shahih".‎ ‎ ‎Sehingga apabila derajatnya dha'if maka ia tidak diperbolehkan. ‎
Dr Wahbah az Zuhaily dalam memberikan contoh permasalahan ini,‎ ‎ beliau ‎sebutkan tentang hadits : ‎
عَنْ مَيْمُون بنِ مَهْرَان عَنْ ابنِ عَبَاس قاَلَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَليه وَسَلَمَ عَنْ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ ‏السِباَعِ، وَكُل ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَيْرِ
Dari Maimun bin Mahran dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu, ia berkata, ‎‎"Rasulullah n melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap ‎burung yang bercakar (buas).‎
Bahwa hadits diatas mentakhsish atas keumuman (potongan) ayat dalam surat al ‎An'am : 145, yang berbunyi :‎
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه

Sehingga dari penjelasan diatas tidak di sangsikan lagi bahwa sunnah dapat ‎mentakhsish al quran. Terlebih hadits yang berkenaan dengan masalah haramnya ‎memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar (buas) ‎telah disepakati keshahihannya oleh para ulama'.‎
Dan kami katakan bahwa jika potongan surat al An'am :145 adalah bersifat ‎umum, dan hal itu di takhsish dengan firman allah selanjutnya atau pada ayat lainnya ‎‎(al Baqarah :173 dan an Nahl : 115), serta tidak ada nash yang mentakhsish lagi ‎kecuali ini, hal itu karena pada waktu itu beliau masih di Mekkah (belum hijrah). ‎Sedangkan setelah beliau hijrah ke Madinah maka hal itu di tambah lagi ‎pengkhususannya melalui diturunkannya wahyu surat al Maidah : 3 dan beberapa ‎hadits Rasulullah  yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama'. ‎Wallahua'lam. ‎
‎ ‎

b) Mereka berhujjah dengan pendapat Imam Malik dan khabar para sahabat, ‎diantaranya Ibn Abbas, Ibn Umar dan 'Aisyah‎ ‎ yang mengatakan tentang halalnya ‎memakan hewan-hewan tersebut, dengan alasan atas keumuman (potongan) firman allah ‎ surat an-Naml :‎‏ ‏‎145 (‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه ‏‎ ‎قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ).‎


Kami Jawab :‎

‎1.‎ Dalam hal ini perlu di teliti kembali keabsahan riwayat yang menyatakan bahwa ‎Imam Malik menghalalkan hewan-hewan tersebut. Karena kalaupun hal ini benar, ‎tentu ini sangat bertentangan dengan pernyataan imam malik sendiri secara shahih ‎dalam kitab beliau "Al Muwaththa'", yang mana beliau menyatakan suatu ‎pendapat yang menunjukkan bahwa hewan tersebut haram. Hal ini ketika beliau ‎mengomentari dan menjelaskan petunjuk hukum yang ada dalam hadits Abu ‎Hurairah diatas yang berbunyi :‎
أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ‎ ‎
‎“Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.‎

‎ ‎ ‎ Beliau katakan :‎
‎ ‎وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا
‎ "Demikian pula halnya (haram) menurut kami."‎
Imam al Qurtuby berkata, " dan menurut fuqahaul amshar (ahli fiqh yang ‎hidup dalam masing-masing kawasan/daerah yang mereka tinggali) diantaranya ‎Imam Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Abdul Malik menyatakan bahwa ‎memakan setiap hewan buas yang bertaring adalah haram".‎
Lebih dari itu Syeikh Abdurahman Al Jaziry dalam kitabnya Al Fiqh Ala ‎Madhahibil Arba'ah menegaskan bahwa tidak ada seorang ulama' pun dari ‎Malikiyah (madhab imam malik) yang menghalalkan hewan anjing, paling tidak ‎mereka terbagi menjadi dua pendapat dalam menyikapi status hewan ini. Yaitu ‎mereka yang memakruhkan dan yang mengharamkanya Dan itu pun pendapat ‎kedualah yang paling masyhur. Bahkan mereka (malikiyah) mengatakan :‎
‎"Perlunya diberi pelajaran/sanksi bagi mereka yang berani menisbatkan bahwa ‎Imam Malik menghalalkan hewan tersebut".‎
‎2.‎ Adapun mengenai khabar tersebut, diantara lafadznya ialah sebagaimana berikut ‎ini ‎ ‎ :‎
رَوَي عَنْ ابنِ عُمَر أنه سُئِلَ عَن لَحُوْمِ السِبَاعِ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِهاَ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia ditanya tentang hukum daging ‎binatang buas, maka beliau katakan," hal itu tidak apa-apa" ‎
قَالَ القَاسِمِ: كَانَتْ عَائِشَة تَقُولُ لمَاَ سَمِعَتْ النَاسَ يَقُولُوْنَ حرم كل ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ: ذَا لِكَ ‏حَلاَلٌ، وَتَتْلُوا هذه الآيَةِ " قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْمَا أُوحِيَ إِلَىَّ مُحَرَّماً "‏
Berkata Qasim : " Ketika 'Aisyah mendengar para sahabat mengatakan bahwa ‎haramnya setiap hewan buas yang bertaring, maka ia berkata, " itu adalah halal", ‎kemudian ia mengucapkan ayat ‎‏" قُل لاَ أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلى مُحَرَماً
عَنْ ابنِ عَبَاس قَالَ : لَيْسَ شَيْء مِنَ الدَوَابِّ حَرَامٌ إِلاّ مَا حرّم الله فِي كِتَابِهِ : { قُل لا أَجِدُ فِيمَا أُوْحِىَ ‏إِلَىَّ مُحَرَّمًا }‏
Dari Ibnu Abbas ia berkata, " tidak ada satu pun dari binatang melata yang ‎haram kecuali yang telah diharamkan Allah dalam firman-Nya :‎
قُل لا أَجِدُ فِيمَا أُوْحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا "‏

Sedangkan mengenai kedudukan dari khabar diatas, Abu Umar Bin Abdil ‎Barr memberikan komentar sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar Al 'Asqalany ‎dalam kitabnya Fathul Barri Syarh Shahih Al Bukhary, bahwa jalur ‎periwayatannya adalah lemah/dhaif.‎ ‎ ‎
Imam asy syaukany lebih menegaskan lagi dengan perkataannya,"dan telah ‎diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan 'Aisyah bahwasanya tidak ada ‎yang diharamkan kecuali yang telah telah disebutkan dalam ayat ini (surat An ‎Naml : 145), dan hal itu diriwayatkan pula dari imam malik, namun perkataan ini ‎gugur/lemah".‎ ‎ ‎
Dan telah kita ketahui bersama bahwa hadits/khabar yang dhaif tidak bisa ‎dijadikan landasan hukum dalam permasalahan yang sifatnya amaliyah.‎
Sehingga dari kedua penjelasan diatas, kalaupun benar bahwa Imam Malik ‎mengatakan tentang kehalalannya dan jalur periwayatan khabar para sahabat ‎tersebut shahih ataupun hasan maka tetap tidak bisa di jadikan hujjah karena ‎mereka berlandaskan dengan keumuman firman allah  surat Al An'am : 145, ‎yang membatasi haramnya hewan hanya empat saja. Dan bantahan tentang ‎syubhat ini telah kami sebutkan diatas. ‎

Kedua : Ada pula sebagian ulama yang menghukuminya (setiap binatang buas yang ‎bertaring, anjing contohnya dalam hal ini) sebatas makruh tanzih (makruh yang tidak ‎sampai haram) saja, tidak haram dan tidak halal. Mereka beralasan dengan ‎menjama'/mengumpulkan petunjuk hukum yang ada dalam (potongan) firman allah surat ‎Al 'Anam : 145 yang bersifat umum (‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه ‏‎ ‎قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ), yang ‎kemudian ditakhsis (di khususkan) dengan hadits Rasulullah  yang bersifat larangan ‎‎(karena disana menggunakan lafadz "naha"), yang berbunyi :‎
عَنْ أَبِي إِدْرِيس الخَوْلاَنِي عَنْ أَبِي ثَعْلَبَة الخُشَني أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُل ذِي نَابٍ ‏مِنَ السِبَاعِ
Dari Abu Idris al Khaulani dari Abi Tsa’labah al Khusyani Radiyallahu 'anhu; ‎‎“Sesungguhnya Rasulullah  melarang memakan setiap binatang buas yang ‎bertaring”.‎

Kami Jawab :‎

Adapun dibawanya makna hadits tersebut kepada makruh tanzih, maka hal itu ‎tidaklah tepat. Karena ada sebagian tampilan lafadz dari riwayat lain yang serupa, yang ‎diungkapkan dengan kalimat "diharamkan". Yaitu hadits Rasulullah  :‎
عَنْ أَبي هُرَيرةَ أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَمَ قاَلَ: (( أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ))‏
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah  bersabda: ‎‎“Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.‎
Sehingga pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan diharamkannya ‎memakan daging setiap hewan buas yang bertaring dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang ‎dipegang oleh pendapat ini.‎
Kesimpulan dan Penutup
Memakan daging anjing adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ‎ulama. Hal ini dikarenakan kuatnya dalil yang menjadi dasar pijakan hukum tersebut. ‎Oleh karenanya bagi anda yang mungkin suka mengkonsumsi daging hewan tersebut ‎maka jauhilah warung sate jamu rica-rica yang pernah anda kunjungi. ‎
Sehingga dengan curahan rahmat allah , selesai sudah makalah yang telah ‎penulis hadirkan ini. Semoga dengannya sedikit banyak lebih mencerahkan pemahaman ‎dan menambah wawasan berfikir kita mengenai persoalan halal atau haramkah daging ‎anjing tersebut. Dan akhirnya Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah ‎Rabb semesta alam. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah ‎Muhammad . Wallahua'lam.‎
Maraji'‎
‎1.‎ Al Muwaththa' Karya Imam Malik Bin Anas, Dar El Fikr, Beirut-Lebanon, Cet. ‎Ketiga, 1422 H
‎2.‎ Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al 'Asqalany, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, ‎Cet. Ke-1, 1989 M‎
‎3.‎ Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah karya Abdurrahman Al Jazairy,Dar Al ‎Hadits, Al Qahirah, 1424 H
‎4.‎ ‎ Al-Mughny karya Abu Muhammad Abdillah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu ‎Qudamah Al Maqdisy, Hijr, Cet. Ke-2, 1992 M‎
‎5.‎ Tafsir Al Quranul Adzim karya Abu Alfida' Ismail Ibn Katsir Al Qurasy Ad ‎Dimasyqy, Al Maktabah Al'ashriyah, Beirut, Cet. Ketiga, 1420 H
‎6.‎ Fath Al Qadir karya Imam Muhammad Bin Aly Bin Muhammad Asy Syaukany, ‎Dar Al Kutub Al 'ilmiyah, Beirut-Lebanon, Cet.Pertama, 1415 H
‎7.‎ Al Jami' Li Ahkami Al Quran karya Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al ‎Anshary Al Qurthuby, Shafar 1380 H


0 komentar:

Posting Komentar