Sabtu, 25 September 2010

Benarkah Daging Anjing Halal ?‎

Beberapa waktu yang lalu terdengar ditelinga kaum muslimin, sebuah pendapat yang ‎menyatakan bahwa halalnya memakan daging anjing. Sehingga dirasa hal ini aneh, maka ‎sebagian kaum muslimin pun bertanya-tanya, benarkah pendapat tersebut ?. Dan kalau ‎memang pendapat tersebut dibenarkan oleh syariat islam mengapa seakan baru muncul di ‎permukaan pengetahuan kaum muslimin sekarang?‎

Dianggap perlunya permasalahan ini untuk dikaji ulang secara obyektif. Maka dalam hal ‎ini penulis berusaha mencoba memaparkan data dan fakta yang ada. Kemudian ‎menguraikannya ke dalam sebuah bentuk makalah, yang semoga menjadikan tulisan ini ‎dapat dipahami secara bersama dan dapat dipertimbangkan sesuai kadar yang dikandung ‎didalamnya. Dan tentunya hal itu diharapkan tidaklah keluar dalam bingkaian sumber ‎hukum al Quran dan as Sunnah. Wallahua'lam.‎


Telisik Data Dan Fakta
Memakan daging anjing adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ‎ulama. Hal ini sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh beberapa dalil berikut ini : ‎
‎1. Anjing termasuk hewan buas bertaring yang haram untuk dimakan. ‎
‎ Mayoritas ulama sepakat akan keharaman binatang buas yang bertaring kuat, ‎dengannya ia menyerang mangsanya dan menundukkannya, kecuali anjing laut. Ini ‎adalah pendapat; imam Malik, asy Syafi’i, Abu Tsaur, Ashhabul Hadits dan Abu ‎Hanifah serta sahabat-sahabatnya.‎
Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam beberapa hadits rasulullah ‎saw :‎
عَنْ أَبِي إِدرِيس الخَوْلانِي عَنْ أَبِي ثَعْلَبَة الخُشَنِي أَنَّ رَسولَ اللهِ صلَى اللهُ عليهِ وَسلَمَ نَهى عَنْ أَكْلِ كُل ذِي نَابٍ ‏مِنَ السِبَاعِ
Dari Abu Idris al Khaulani dari Abi Tsa’labah al Khusyani Radiyallahu'anhu (ia ‎berkata), “Sesungguhnya Rasulullah n melarang memakan setiap binatang buas yang ‎bertaring”.‎
عَنْ مَيْمُون بنِ مَهْرَان عَنْ ابنِ عَبَاس قاَلَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَليه وَسَلَمَ عَنْ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِباَعِ، ‏وَكُل ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَيْرِ
Dari Maimun bin Mahran dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu, ia berkata, ‎‎"Rasulullah n melarang memakan setiap bintang buas yang bertaring dan setiap burung ‎yang bercakar (buas).‎
عَنْ عُبَيْدَة بنِ سُفْيَان الحَضْرَمِي عن أبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: (( أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ ‏مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ))‏
Dari Ubaidah bin Sufyan dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, (ia berkata) ‎sesungguhnya Rasulullah n bersabda, “Memakan setiap binatang buas yang bertaring ‎adalah haram”.‎
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata; ‎
هَذَا حَدِيثٌ ثَابِتٌ صَحِيحٌ مُجْمَعٌ عَلَى صِحَّتِهِ .‏

‎“ Ini adalah hadits yang tsabit, shahih dan telah disepakati akan keshahihannya (oleh ‎para ulama') ".‎
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Mughny :‎

َهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ يَخُصُّ عُمُومَ الْآيَاتِ ، فَيَدْخُلُ فِي هَذَا الْأَسَدُ ، وَالنَّمِرُ ، وَالْفَهْدُ ، وَالذِّئْبُ ، وَالْكَلْبُ ، ‏وَالْخِنْزِيرُ .‏

‎"Dan hadits ini adalah Nash yang sharih (jelas), yang (juga) mengkhususkan dari ‎keumuman ayat (‎قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ‎)‎ ‎, maka macam hewan yang ‎ada didalam petunjuk hadits ini mencakup singa, macan tutul, macan kumbang, srigala, ‎anjing dan babi (atau beberapa hewan lainnya yang memiliki kriteria dalam hadits ‎tersebut,-pen)" ‎ ‎.‎
Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa' menyebutkan suatu pendapat yang ‎menunjukkan bahwa hewan tersebut haram menurutnya, yaitu pendapat yang diucapkan ‎beliau setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah diatas. Beliau berkata: ‎
وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا
‎"Demikian pula halnya (haram) menurut kami." ‎

‎2.‎ Petunjuk diharamkannya jual beli anjing. Hal ini sebagaimana tersebut dalam ‎sabdanya :‎
ثمَنُ الكَلْبِ خَبِيْثٌ وَمَهْرُ البَغْيِ خَبِيْثٌ وَحلوَانُ الكَاهِنِ خَبِيْثٌ
‎" Uang hasil jual beli anjig adalah kotor, uang bayaran pelacur adalah kotor, dan ‎upah seorang peramal adalah kotor ".‎
عَنْ أَبِي مَسْعُود الأَ نْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (( أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمنِ الكَلْبِ وَمَهرِ ‏البَغْيِ وَحلوَان الكَاهِنِ))‏
Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radiyallahu 'anhu (ia berkata)," Sesungguhnya ‎Rasulullah n melarang memakan hasil dari jual beli anjing, uang bayaran pelacur dan ‎upah seorang peramal."‎ ‎ ‎
Sehingga kalau harganya/jual belinya terlarang, maka dagingnya pun haram untuk ‎dimakan. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah  :‎
‎“Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan ‎sesuatu, maka (Allah) haramkan harganya (jual beli) atas mereka”. ‎

‎3. Petunjuk diharamkannya memelihara (memiliki) anjing.‎
Karena memeliharanya akan mengurangi pahala pemeliharanya setiap hari. Bila ‎memakan daging anjing dibolehkan maka memeliharanya tentu diperbolehkan, namun ‎dikecualikan anjing berburu, penjaga kebun, dan penjaga ternak.‎
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah n :‎
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( مَنْ اتَّخَذَ كَلْباً إِلَّا كَلبِ صَيْد أَوْ زَرع أَوْ ‏مَاشِية نتقصُ مِنْ أَجْرِهِ كُل يَوْم قِيْرَاط))‏
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, telah bersabda Rasulullah n : “Barang ‎siapa memelihara anjing, selain anjing untuk memburu, penjaga kebun atau penjaga ‎ternak, maka berkurang pahalannya disetiap hari satu qirath”‎ ‎.‎
عَنْ سُفْيَان بْنِ أَبِي زُهَيْر الشَنَائِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: (( مَنْ ‏اقنَى كَلْباً لاَ يغْني عَنْهُ زَرعاً وَلاَ ضرعاً نقص مِنْ عَمَلِهِ كُل يَوْم قِيْرَاط))‏
Dari Sufyan bin Abu Zuhair Asy Syana’iy Radiyallahu 'anhu berkata," Aku ‎mendengar Rasulullah n bersabda : “Barangsiapa yang memelihara anjing bukan untuk ‎dijadikan sebagai penjaga kebun atau untuk berburu maka berkurang pahala (orang ‎yang memeliharanya) disetiap hari satu qirath”‎ ‎.‎
Dalam lafadz yang lain dari Ibnu Umar : ‎
نقص كُل يَوْم قِيْرَاطَانِ
‎ “Berkurang pahalanya setiap hari dua qirath”‎ ‎.‎

‎4. Perintah Rasulullah n untuk membunuh anjing.‎
‏ عَنْ ابنِ عُمَر (( أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الكِلاَبِ إِلاَّ كَلْبِ صَيْدٍ أَوْ كلبِ مَاشِيَةٍ))‏
Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma (ia berkata), " sesungguhnya Rasulullah n ‎memerintahkan untuk membunuh anjing, kecuali anjing untuk memburu atau anjing ‎untuk menjaga ternak."‎
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: (( أَمَرَناَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِقَتْلِ كُل الكِلاَبِ حَتَّى أَنّ المَرْأَةَ تقدم مِنِ البَادِيَةِ ‏بِكَلْبِهَا فَنَقْتُلُهُ ثُمّ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ قَتْلِهاَ وَقَالَ عَلَيْكُمْ باِلأَسْوَدِ البَهِيْمِ ذِي النُقْطَتَيْنِ ‏فَإِنّه شَيْطَانٌ))‏
Dari Jabir radhiallahuanhu berkata : Rasulullah ` memerintahkan kepada kami ‎untuk membunuh seluruh anjing. Bahkan ketika seorang wanita badui datang dengan ‎seekor anjingnya kamipun membunuh anjing tersebut, kemudian Rasulullah  melarang ‎untuk membunuhnya dan bersabda: “Bunuhlah anjing ‎‏ ‏yang hitam pekat, yang memiliki ‎dua titik, karena sesungguhnya ia adalah syaitan."‎

Syubhat dan Bantahannya ‎


Pertama : Ada sebagian ulama yang berpendapat tentang halalnya atau mubahnya setiap ‎binatang buas yang bertaring (anjing contohnya dalam hal ini). Ini adalah pendapat Asy ‎Sya’bi, Said bin Zubair dan sebagian Madzhab Maliki,‎ ‎ mereka berpegang dengan ‎beberapa hujjah berikut ini :‎

a)‎ Firman allah  dalam beberapa surat, diantaranya :‎

‎- Surat al An'am ayat 145 :‎
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً‎ ‎أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ ‏رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا‎ ‎أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ‎ ‎رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
‎" Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, ‎sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan ‎itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu ‎kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam ‎keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, ‎maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."‎
‎- Surat an Nahl ayat 115 :‎
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ‎ ‎الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ‎ ‎فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ ‏رَحِيمٌ‎ ‎
‎"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, ‎daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang ‎siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui ‎batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."‎
‎ ‎
‎ - Surat al Baqarah ayat 173 :‎
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ‎ ‎الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ‎ ‎فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ ‏اللَّهَ‎ ‎غَفُورٌ رَحِيمٌ
‎"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi ‎dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa ‎dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak ‎‎(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha ‎Pengampun lagi Maha Penyayang."‎

Dari ketiga ayat diatas mereka katakan :‎


‎1.‎ Hewan yang diharamkan allah swt dalam ayat-ayat tersebut hanyalah terbatas empat ‎saja, yaitu : bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan binatang yang disembelih ‎atas nama selain Allah. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa dalam surat al ‎Baqarah : 173 dan an Nahl : 115 disana terdapat kata ‎إنّما‎ yang berkedudukan sebagai ‎alat pembatasَ أدَاةُ الحَصْرِ ) ‏‎), dan ini menunjukkan bahwa hanya hewan tersebut saja yang ‎diharamkan oleh allah swt.‎


‎2.‎ Selain dari pada itu mereka menyatakan menolak hadits-hadits yang mengkhususkan ‎nash yang bersifat umum dari penggalan ayat 145 surat al An'am :‎
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه
Dengan alasan, bahwa sunnah/hadits tidak bisa mengkhususkan ayat yang umum ‎yang telah di takhsish dengan firman allah selanjutnya dalam ayat tersebut, yaitu ‎kelanjutan firman-Nya yang berbunyi :‎
‏ ....إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً‎ ‎أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا‎ ‎أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه.....‏
Atau dengan ayat lainnya dalam surat al Baqarah : 173 dan surat an Nahl :115.‎
‎ Kami jawab :‎
‎1)‎ Bahwa surat an An'am dan an Nahl adalah surat Makiyah, yaitu surat yang ‎diturunkan di Mekkah tatkala beliau rasulullah ` belum hijrah ke madinah. Dan ‎diturunkannya ayat-ayat ini untuk menolak orang-orang jahiliyah dalam ‎mengharamkan bahiirah (unta yang dibelah telinganya), saa'ibah (unta yang ‎dilepaskan pada zaman jahiliyyah untuk suatu nadzar dan lainnya), washilah ‎‎(anak domba jantan yang lahir kembar dengan betina) serta haami (unta untuk ‎penjagaan yang diberikan untuk berhala). Dan menghalalkan bangkai dan yang ‎lainnya, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Selain itu ayat ini diturunkan ‎untuk menjelaskan kepada mereka bahwa mengharamkan yang halal dan ‎menghalalkan yang haram adalah suatu cara yang salah yang salah dan dugaan ‎yang batal. Sehingga tidak ayal jika ketika itu Allah memutuskan bahwa yang ‎diharamkan hanya empat binatang saja.‎
Kemudian setelah beliau hijrah ke madinah (ketika itu kondisi umat islam ‎mulai mapan), maka allah menurunkan lagi beberapa wahyu dalam al quran ‎maupun sunnah rasul ` tentang hewan-hewan apa saja yang diharamkan, sebagai ‎wahyu tambahan dari hewan-hewan yang telah diharamkan sebelumnya.‎ ‎ ‎Semisal surat al maidah : 3 dan beberapa hadits rasulullah saw yang menjelaskan ‎tentang haramnya hewan-hewan selain 4 kriteria hewan dalam ayat-ayat diatas. ‎Misalnya ; setiap hewan buas yang mempunyai taring (dalam hal ini anjing ‎contohnya), setiap burung yang mempunyai cakar dan yang lainnya.‎
Sehingga dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada ‎dasarnya ayat-ayat tersebut memberitahukan bahwa pada waktu itu (sebelum ‎hijrah di makkah) tidak ada yang diharamkan selain empat perkara tersebut. ‎Namun kemudian setelah beliau hijrah ke madinah allah menurunkan lagi ‎beberapa wahyu dalam al quran maupun sunnah rasul saw tentang hewan-hewan ‎apa saja yang diharamkan, sebagai wahyu tambahan dari hewan-hewan yang ‎telah diharamkan sebelumnya.‎

‎2)‎ Sedangkan mengenai firman Allah  dalam surat al Baqarah : 173, walaupun ia ‎merupakan madaniyah (yang turun ketika beliau telah hijrah ke Madinah) namun ‎ketika itu beliau Rasulullah ` belum lama tinggal di madinah. Atau mungkin ‎beliau telah lama tinggal di Madinah namun Allah l belum menurunkan wahyu-‎Nya kepada Rasulullah , tentang tambahan hewan yang diharamkan selain ke ‎empat binatang tersebut pada mulanya. Yakni ayat ke-3 dari surat al Maidah dan ‎beberapa hadits beliau .‎

‎3)‎ Firman Allah l dalam surat al Maidah : 3 yang berbunyi ;‎

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ‎ ‎الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ‎ ‎وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ ‏وَالنَّطِيحَةُ وَمَا‎ ‎أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ‎ ‎تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ ‏الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا‎ ‎مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ‎ ‎دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ ‏نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا‎ ‎فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ‎ ‎رَحِيمٌ
‎"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging ‎hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, ‎yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat ‎kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk ‎berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi ‎nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir ‎telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut ‎kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan ‎untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ‎Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena ‎kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun ‎lagi Maha Penyayang."‎
Sebenarnya dari ayat ini pun terjadi kontradiksi (apabila kita hubungkan ‎dengan dhahir ayat-ayat diatas). Yaitu kalau memang yang diharamkan hanya ‎empat hewan saja, mengapa allah swt juga mengharamkan setiap hewan yang ‎tercekik, yang di pukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam hewan ‎buas serta yang disembelih untuk berhala ?. ‎
Abu Umar Ibn Abdil Barr menambahkan, bahwa konsekuensi bagi mereka ‎yang mengatakan,"tidak adanya hewan yang diharamkan kecuali apa yang telah ‎tersebut dalam ayat tersebut …" adalah mereka menghalalkan hewan yang di ‎sembelih tanpa menyebut nama allah secara sengaja dan menghalalkan khamr, ‎padahal ini telah di sepakati keharamannya oleh para ulama.‎
Imam Ibnu katsir rahimahullah dalam kitabnya Tafsir al Quranul 'Adzim, ‎ketika menjelaskan penafsiran dari surat al An'am : 145 beliau katakan, " sehingga ‎apa saja yang telah disebutkan dalam surat al Maidah (ayat ke-3) dan dalam ‎beberapa petunjuk hadits yang ada (yakni perihal haramnya beberapa jenis ‎makanan yang tidak hanya terbatas empat jenis binatang), telah ‎mengangkat/menggugurkan pemahaman ayat ini (dari yang diharamkan hanya ‎empat jenis binatang saja menjadi bertambah lebih dari itu)."‎ ‎ ‎
‎4)‎ Adapun pernyataan mereka yang kedua, ini perlu di koreksi kembali, karena :‎
• Berbagai alasan dari jawaban/bantahan kami pada ketiga point diatas.‎
• Kalau dinyatakan bahwa ayat tersebut umum sehingga tidak bisa dikhususkan lagi ‎dengan hadits-hadits Rasulullah  yang jelas keshahihannya, dan mencukupkan diri ‎dengan kelanjutan firman allah tersebut dalam surat al an'am atau dalam ayat yang ‎lain sebagai pengkhusus, maka pernyataan ini adalah bathil tak berdasar. Tidakkah ‎kita lihat bagaimana pandangan ushuliyyun (ahli ushul fiqh) dalam menyikapi ‎pengkhususan al Quran dengan as Sunnah ?.‎
Dan perlu diketahui, bahwa memang benar al Quran adalah wahyu pertama yang ‎tidak bisa diganggu gugat lagi ke-qath'iyannya/kepastiannya. Namun demikian hal itu ‎tidak bisa menafikan as sunnah/ hadits rasulullah  begitu saja, walaupun ia ‎merupakan wahyu kedua setelah al Quran. Hal ini karena as sunnah memiliki ‎kedudukan yang sangat tinggi terhadap al Quran. Yaitu sebagai tabyinul ‎quran/penjelas baginya. Dan salah satu dari bentuk tabyinul quran adalah takhshishul ‎quran (mengkhuskan nash al quran jika dianggap itu bersifat umum).‎ ‎ ‎
Kemudian dalam menyikapi sunnah sebagai pentakhshish al Quran/al Kitab ini, ‎mereka (ahli ushul fiqh) telah bersepakat bahwa apabila hadits/sunnah tersebut ‎kedudukannya mutawatir maka hal itu di perbolehkan. Adapun jika berkedudukan ‎sebagai hadits ahad maka jumhur ulama' pun membolehkannya secara mutlaq ‎. Ibnu ‎al 'Araby rahimahullah secara tegas menyatakan, "mereka telah bersepakat bahwa ‎diperbolehkannya sunnah mentakhsish al quran apabila derajatnya shahih".‎ ‎ ‎Sehingga apabila derajatnya dha'if maka ia tidak diperbolehkan. ‎
Dr Wahbah az Zuhaily dalam memberikan contoh permasalahan ini,‎ ‎ beliau ‎sebutkan tentang hadits : ‎
عَنْ مَيْمُون بنِ مَهْرَان عَنْ ابنِ عَبَاس قاَلَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَليه وَسَلَمَ عَنْ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ ‏السِباَعِ، وَكُل ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَيْرِ
Dari Maimun bin Mahran dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu, ia berkata, ‎‎"Rasulullah n melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap ‎burung yang bercakar (buas).‎
Bahwa hadits diatas mentakhsish atas keumuman (potongan) ayat dalam surat al ‎An'am : 145, yang berbunyi :‎
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه

Sehingga dari penjelasan diatas tidak di sangsikan lagi bahwa sunnah dapat ‎mentakhsish al quran. Terlebih hadits yang berkenaan dengan masalah haramnya ‎memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar (buas) ‎telah disepakati keshahihannya oleh para ulama'.‎
Dan kami katakan bahwa jika potongan surat al An'am :145 adalah bersifat ‎umum, dan hal itu di takhsish dengan firman allah selanjutnya atau pada ayat lainnya ‎‎(al Baqarah :173 dan an Nahl : 115), serta tidak ada nash yang mentakhsish lagi ‎kecuali ini, hal itu karena pada waktu itu beliau masih di Mekkah (belum hijrah). ‎Sedangkan setelah beliau hijrah ke Madinah maka hal itu di tambah lagi ‎pengkhususannya melalui diturunkannya wahyu surat al Maidah : 3 dan beberapa ‎hadits Rasulullah  yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama'. ‎Wallahua'lam. ‎
‎ ‎

b) Mereka berhujjah dengan pendapat Imam Malik dan khabar para sahabat, ‎diantaranya Ibn Abbas, Ibn Umar dan 'Aisyah‎ ‎ yang mengatakan tentang halalnya ‎memakan hewan-hewan tersebut, dengan alasan atas keumuman (potongan) firman allah ‎ surat an-Naml :‎‏ ‏‎145 (‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه ‏‎ ‎قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ).‎


Kami Jawab :‎

‎1.‎ Dalam hal ini perlu di teliti kembali keabsahan riwayat yang menyatakan bahwa ‎Imam Malik menghalalkan hewan-hewan tersebut. Karena kalaupun hal ini benar, ‎tentu ini sangat bertentangan dengan pernyataan imam malik sendiri secara shahih ‎dalam kitab beliau "Al Muwaththa'", yang mana beliau menyatakan suatu ‎pendapat yang menunjukkan bahwa hewan tersebut haram. Hal ini ketika beliau ‎mengomentari dan menjelaskan petunjuk hukum yang ada dalam hadits Abu ‎Hurairah diatas yang berbunyi :‎
أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ‎ ‎
‎“Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.‎

‎ ‎ ‎ Beliau katakan :‎
‎ ‎وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا
‎ "Demikian pula halnya (haram) menurut kami."‎
Imam al Qurtuby berkata, " dan menurut fuqahaul amshar (ahli fiqh yang ‎hidup dalam masing-masing kawasan/daerah yang mereka tinggali) diantaranya ‎Imam Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Abdul Malik menyatakan bahwa ‎memakan setiap hewan buas yang bertaring adalah haram".‎
Lebih dari itu Syeikh Abdurahman Al Jaziry dalam kitabnya Al Fiqh Ala ‎Madhahibil Arba'ah menegaskan bahwa tidak ada seorang ulama' pun dari ‎Malikiyah (madhab imam malik) yang menghalalkan hewan anjing, paling tidak ‎mereka terbagi menjadi dua pendapat dalam menyikapi status hewan ini. Yaitu ‎mereka yang memakruhkan dan yang mengharamkanya Dan itu pun pendapat ‎kedualah yang paling masyhur. Bahkan mereka (malikiyah) mengatakan :‎
‎"Perlunya diberi pelajaran/sanksi bagi mereka yang berani menisbatkan bahwa ‎Imam Malik menghalalkan hewan tersebut".‎
‎2.‎ Adapun mengenai khabar tersebut, diantara lafadznya ialah sebagaimana berikut ‎ini ‎ ‎ :‎
رَوَي عَنْ ابنِ عُمَر أنه سُئِلَ عَن لَحُوْمِ السِبَاعِ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِهاَ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia ditanya tentang hukum daging ‎binatang buas, maka beliau katakan," hal itu tidak apa-apa" ‎
قَالَ القَاسِمِ: كَانَتْ عَائِشَة تَقُولُ لمَاَ سَمِعَتْ النَاسَ يَقُولُوْنَ حرم كل ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ: ذَا لِكَ ‏حَلاَلٌ، وَتَتْلُوا هذه الآيَةِ " قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْمَا أُوحِيَ إِلَىَّ مُحَرَّماً "‏
Berkata Qasim : " Ketika 'Aisyah mendengar para sahabat mengatakan bahwa ‎haramnya setiap hewan buas yang bertaring, maka ia berkata, " itu adalah halal", ‎kemudian ia mengucapkan ayat ‎‏" قُل لاَ أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلى مُحَرَماً
عَنْ ابنِ عَبَاس قَالَ : لَيْسَ شَيْء مِنَ الدَوَابِّ حَرَامٌ إِلاّ مَا حرّم الله فِي كِتَابِهِ : { قُل لا أَجِدُ فِيمَا أُوْحِىَ ‏إِلَىَّ مُحَرَّمًا }‏
Dari Ibnu Abbas ia berkata, " tidak ada satu pun dari binatang melata yang ‎haram kecuali yang telah diharamkan Allah dalam firman-Nya :‎
قُل لا أَجِدُ فِيمَا أُوْحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا "‏

Sedangkan mengenai kedudukan dari khabar diatas, Abu Umar Bin Abdil ‎Barr memberikan komentar sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar Al 'Asqalany ‎dalam kitabnya Fathul Barri Syarh Shahih Al Bukhary, bahwa jalur ‎periwayatannya adalah lemah/dhaif.‎ ‎ ‎
Imam asy syaukany lebih menegaskan lagi dengan perkataannya,"dan telah ‎diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan 'Aisyah bahwasanya tidak ada ‎yang diharamkan kecuali yang telah telah disebutkan dalam ayat ini (surat An ‎Naml : 145), dan hal itu diriwayatkan pula dari imam malik, namun perkataan ini ‎gugur/lemah".‎ ‎ ‎
Dan telah kita ketahui bersama bahwa hadits/khabar yang dhaif tidak bisa ‎dijadikan landasan hukum dalam permasalahan yang sifatnya amaliyah.‎
Sehingga dari kedua penjelasan diatas, kalaupun benar bahwa Imam Malik ‎mengatakan tentang kehalalannya dan jalur periwayatan khabar para sahabat ‎tersebut shahih ataupun hasan maka tetap tidak bisa di jadikan hujjah karena ‎mereka berlandaskan dengan keumuman firman allah  surat Al An'am : 145, ‎yang membatasi haramnya hewan hanya empat saja. Dan bantahan tentang ‎syubhat ini telah kami sebutkan diatas. ‎

Kedua : Ada pula sebagian ulama yang menghukuminya (setiap binatang buas yang ‎bertaring, anjing contohnya dalam hal ini) sebatas makruh tanzih (makruh yang tidak ‎sampai haram) saja, tidak haram dan tidak halal. Mereka beralasan dengan ‎menjama'/mengumpulkan petunjuk hukum yang ada dalam (potongan) firman allah surat ‎Al 'Anam : 145 yang bersifat umum (‎أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُه ‏‎ ‎قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا‎ ), yang ‎kemudian ditakhsis (di khususkan) dengan hadits Rasulullah  yang bersifat larangan ‎‎(karena disana menggunakan lafadz "naha"), yang berbunyi :‎
عَنْ أَبِي إِدْرِيس الخَوْلاَنِي عَنْ أَبِي ثَعْلَبَة الخُشَني أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُل ذِي نَابٍ ‏مِنَ السِبَاعِ
Dari Abu Idris al Khaulani dari Abi Tsa’labah al Khusyani Radiyallahu 'anhu; ‎‎“Sesungguhnya Rasulullah  melarang memakan setiap binatang buas yang ‎bertaring”.‎

Kami Jawab :‎

Adapun dibawanya makna hadits tersebut kepada makruh tanzih, maka hal itu ‎tidaklah tepat. Karena ada sebagian tampilan lafadz dari riwayat lain yang serupa, yang ‎diungkapkan dengan kalimat "diharamkan". Yaitu hadits Rasulullah  :‎
عَنْ أَبي هُرَيرةَ أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَمَ قاَلَ: (( أَكْلُ كُلِ ذِي نَابٍ مِنَ السِبَاعِ حَرَامٌ))‏
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah  bersabda: ‎‎“Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram”.‎
Sehingga pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan diharamkannya ‎memakan daging setiap hewan buas yang bertaring dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang ‎dipegang oleh pendapat ini.‎
Kesimpulan dan Penutup
Memakan daging anjing adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ‎ulama. Hal ini dikarenakan kuatnya dalil yang menjadi dasar pijakan hukum tersebut. ‎Oleh karenanya bagi anda yang mungkin suka mengkonsumsi daging hewan tersebut ‎maka jauhilah warung sate jamu rica-rica yang pernah anda kunjungi. ‎
Sehingga dengan curahan rahmat allah , selesai sudah makalah yang telah ‎penulis hadirkan ini. Semoga dengannya sedikit banyak lebih mencerahkan pemahaman ‎dan menambah wawasan berfikir kita mengenai persoalan halal atau haramkah daging ‎anjing tersebut. Dan akhirnya Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah ‎Rabb semesta alam. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah ‎Muhammad . Wallahua'lam.‎
Maraji'‎
‎1.‎ Al Muwaththa' Karya Imam Malik Bin Anas, Dar El Fikr, Beirut-Lebanon, Cet. ‎Ketiga, 1422 H
‎2.‎ Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al 'Asqalany, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, ‎Cet. Ke-1, 1989 M‎
‎3.‎ Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah karya Abdurrahman Al Jazairy,Dar Al ‎Hadits, Al Qahirah, 1424 H
‎4.‎ ‎ Al-Mughny karya Abu Muhammad Abdillah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu ‎Qudamah Al Maqdisy, Hijr, Cet. Ke-2, 1992 M‎
‎5.‎ Tafsir Al Quranul Adzim karya Abu Alfida' Ismail Ibn Katsir Al Qurasy Ad ‎Dimasyqy, Al Maktabah Al'ashriyah, Beirut, Cet. Ketiga, 1420 H
‎6.‎ Fath Al Qadir karya Imam Muhammad Bin Aly Bin Muhammad Asy Syaukany, ‎Dar Al Kutub Al 'ilmiyah, Beirut-Lebanon, Cet.Pertama, 1415 H
‎7.‎ Al Jami' Li Ahkami Al Quran karya Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al ‎Anshary Al Qurthuby, Shafar 1380 H


Read More..

JANGAN LARI DARI UJIAN HIDUP

Rosululloh SAW bersabda“  Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ‎ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, ‎barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang ‎murka, maka baginya kemurkaan Allah.”

Sabda Rasulullah saw. ini termktub dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini ‎dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap ‎Bencana”.‎

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari ‎Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke ‎Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.‎


Ingat, hidup adalah tempatnya ujian dan cobaan.‎
Dalam roda kehidupan manusia tentunya tidak terlepas yang namanya ujian dan ‎cobaan dari Alloh Ta'ala untuk membuktikan sejauh mana kadar keimanan seorang ‎hamba kepada alloh ta'ala. Apakah mereka benar-benar beriman atau sebaliknya. ‎Seperti firman alloh ta'ala dalam surat al-ankabut ayat 2-3‎
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ‎ ‎يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ(2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ‎ ‎مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا ‏وَلَيَعْلَمَنَّ‎ ‎الْكَاذِبِينَ (3)‏
Artinya," Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‎‎"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?(3) Dan sesungguhnya Kami ‎telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah ‎mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang ‎yang dusta.(QS al-ankabut : 2-3)‎

Begitu juga firman Alloh Ta'ala dalam surat Al-Anbiya' ayat 35‎
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya," Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan ‎‎(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan"‎

Seorang pakar tafsir yang bernama ibnu katsier mengomentari ayat diatas dalam kitab ‎tafsir Qur'nul 'adzim, beliau berkata," Sesungguhnya Alloh ta'ala akan menguji kepada ‎manusia kadang-kadang dengan beberapa musibah dan kadang-kadang dengan ‎kenikmatan. Kemudian alloh akan melihat diantara manusia,siapa saja yang mau ‎bersyukur atau mengkufuri akan nikmat yang telah diberikannya, dan siapa yang mau ‎bersabar atas musibah yang telah meimpanya atau bahkan keluh kesah terhadapnya. ‎


Perlu Kacamata Positif

Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi ‎kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup ‎anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun ‎tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. ‎Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit ‎yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda ‎lagi.‎


Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. ‎Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai ‎buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ‎ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. ‎Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”‎


Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa ‎sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan ‎berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua ‎kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. ‎Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan ‎sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, ‎kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada ‎orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)‎

Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan ‎menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, ‎Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? ‎Mardhotillah. Keridhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat ‎Rasulullah saw. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.‎


Yang Manis Terasa Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ‎ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup ‎dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang ‎dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi ‎makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih ‎gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.‎
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak ‎menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu ‎pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa ‎kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu ‎manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai ‎bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.‎
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ‎ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup ‎dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.‎

‎“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu ‎pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan ‎kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat ‎pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan ‎orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) ‎syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)‎


Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan ‎mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu ‎sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.‎

Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan ‎halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah ‎dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah ‎rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat ‎bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.‎


Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi ‎Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar ‎sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf ‎berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak ‎mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin ‎berubah buat selama-lamanya.‎
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam ‎kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya ‎perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan ‎berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang ‎mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah swt. ‎dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! ‎Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan ‎hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah ‎swt.‎
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. ‎Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai ‎membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat ‎Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. ‎Athabrani)‎

Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang ‎bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati ‎berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul ‎pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 ‎dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya ‎sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”‎


Jadi, jangan lari dari ujian hidup!‎

Read More..

Jumat, 17 September 2010

TIPS MENJAGA LIMA WAKTU SHALAT


Manusia memang boleh berharap dan berencana tentang apa saja dalam kehidupan di dunia ini. Tetapi Allah jualah yang menentukan hasil akhirnya. Ini berlaku bagi siapa saja. Betapa seluruh harapan yang kita usahakan, harus ada ruang yang kita sediakan untuk Allah. Sebuah ruang gelap berupa kehendak Allah, yang berada di luar kuasa kita.Di ruang ini, kita hanya bisa menyikapi dengan cara berdo’a, berharap dan bertawakkal kepada-Nya. Di ruang ini pula, setiap orang harus menutup semua gelora optimisnya pada setiap ikhtiar yang dilakukan dengan kata “semoga” atau “mudah-mudahan”. Persis seperti seorang ibu yang melepas anaknya ke ruang ujian. Ia tahu anaknya sudah rajin belajar. Tetapi ia harus tetap mengatakan, ”Mudah-mudahan engkau berhasil, Nak!”

Tips berikut ini adalah rencana sekaligus harapan agar shalat tetap terjaga di saat kesibukan yang tak terhingga. Karena bagaimanapun tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat kecuali saat dating haidh dan nifas. Tidak selainnya.

1. Hadirkan dalam hati bahwa ibadah shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan dan termasuk amal perbuatan manusia yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari Kiamat, sehingga kita akan melaksanakan shalat sebaik-sebaik shalat agar kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung saat penghisapan pertama kali di Akhirat.

2. Jika kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada menit-menit berikutnya, apatah lagi kita tidak tahu apakah menit berikutnya kita masih hidup?, maka hadirkan dalam hati bahwa shalat yang kita kerjakan pada saat ini adalah sebagai shalat terakhir kita di dunia.

3. Hadirkan dalam hati bahwa perbuatan dosa yang kita lakukan seperti kelalaian dalam menyambut seruan-Nya, kedurhakaan, kufur nikmat dan dosa-dosa lainnya sudah memenuhi langit dan bumi, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa tersebut kecuali rahmat Allah yang kita harapkan. Maka hadirkan dalam hati kita bahwa shalat yang akan kita kerjakan adalah shalat terakhir kita yang diharapkan dapat menghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan.

4. Tanamkan dalam hati bahwa hari-hari setelah kematian kita adalah hari-hari yang sangat mengerikan sebelum datangnya hari Kiamat. Hadirkan dalam hati, semoga shalat yang kita kerjakan sebagai amal sholeh yang diterima dan sebagai syafa’at di alam kubur dan di hari kiamat nanti. Apakah sholat kita yang terakhir ini akan kita sia-siakan?

5. Perbanyak dzikrullah di waktu-waktu yang luang. Seperti istighfar, tasbih, tahlil, tahmid dan dzikir ma’tsurat lainnya. Jika baju yang kotor lebih layak untuk dibersihkan, sebelum diberi wewangian atau perhiasan lainnya, maka jiwa yang berdosa lebih layak untuk memperbanyak taubat dan istighfar agar hati menjadi lunak dan lembut menerima setiap kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantara kebenaran yang datang dari Allah adalah perintah shalat!

6. Pahami dan pelajari tentang tata cara shalat baik rukun dan syarat-syarat sahnya shalat. Memahami setiap bacaan shalat akan dapat membantu kita dalam melaksanakan shalat yang khusyu’. Bagaimana pendapat kita jika seseorang berkomunikasi di hadapan seorang raja sedangkan ia tidak memahami apa yang ia ucapkan? Dapatkah ia mendapatkan keridhaan raja atau hukuman?

7. Jaga perut agar tidak terlalu kenyang atau lapar. Perut yang kenyang menyebabkan kantuk, sedangkan perut yang lapar akan hilang konsentrasi.

8. Selesaikan segala urusan yang akan menganggu kekhusyukan shalat 1 jam atau kurang, sebelum shalat dimulai atau ditunda terlebih dahulu.

9. Pakailah pakaian atau mukena yang terbaik untuk shalat, yang bersih dari kotoran dan najis serta gambar-gambar yang bernyawa.

Semoga dengan sedikit kiat ini akan membawa kebaikan kepada muslimah yang tengah berkarir. Ia tidak tersibukkan dengan pekerjaannya dan melupakan shalatnya.
Saudariku, ketahuilah, bahwa shalatmu lah yang akan pertama kali dihisab oleh Allah Ta’ala, dan bukan karir atau tanggung jawab mencari nafkah. Karena mencari nafkah telah Allah wajibkan pada suamimu.

Kerjakanlah shalat di rumahmu, karena itu yang terbaik bagimu. Dalam hadits disebutkan, ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku. Namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”
Read More..

JAGALAH SHOLATMU


Wanita muslimah yang berkarir dalam pekerjaan-pekerjaan yang dibenarkan Islam, sebenarnya mereka semakin memperbanyak tugas dan aktivitas. Apalagi yang sudah menjadi isteri atau ibu rumah tangga. Kewajiban-kewajiban mereka pun tidak tanggung banyaknya. Namun demikian halnya, menjadi wanita karir tetap diperbolehkan oleh Islam dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Sholat merupakan ibadah yang membedakan antara kekufuran dan keimanan. Begitulah yang disabdakan Nabi. Artinya, jika seseorang melaksanakan sholat yang Allah wajibkan, maka masih dikatakan sebagai seorang muslim. Namun sebaliknya, jika sholat sudah ditinggalkan, maka sifat kekufuran telah melekat padanya. Dan yang demikian itu akan menjadikannya keluar dari agama Islam dan bila tidak juga bertaubat, maka nerekalah yang pantas ia dapatkan. Na’udzu billah.

Kesibukan yang didapati oleh wanita karir saat ini sangat menyita waktunya untuk khusyu’ sholat menghadap Robbnya. Bahkan karena alasan mencari nafkah keluarga, banyak yang rela mengorbankan sholatnya hanya untuk bekerja pada manusia. Banyak sekali wanita muslimah bekerja di lapangan pekerjaan yang tidak menyempatkannya untuk sholat. Ternyata bekerja untuk orang lain lebih didahulukan daripada berbuat untuk Dzat Yang Menciptakannya.
Ingatlah wahai wanita muslimah. Betapapun banyak ibadah dilakukan, tidak sedikitpun menambahkan kekuasaan Allah. Begitupula meninggalkan kewajiban dan melakukan kemaksiatan, tidaklah mengurangi atas kekuasaan yang dimiliki Allah sedikitpun. Ini adalah makna hadits yang bisa kita baca dalam hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah. Namun, kewajiban yang dilakukan oleh seorang muslim, dapat menyebabkan Allah semakin sayang dan ridho, walaupun keadaan miskin papa. Sedangkan meninggalkan kewajiban, hanya menambah kemurkaan Allah walaupun kaya sebagai wanita karir.

Jadilah wanita muslimah yang berkarir dalam keridhoan Allah. Raihlah ridho-Nya sebagai apapun kita. Berkarir atau tanpa karir.
Semoga karir yang dilandaskan atas dasar keimanan dan keikhlasan tanpa meninggalkan sholat fardhu dan kewajiban lainnya, Allah akan perhatikan kita. Allah juga akan mengabulkan do’a-do’a kita. Amin.
Read More..

Senin, 06 September 2010

IBNU BATHUTHAH


Ia terlahir dengan nama Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Al Lawata At Tanjy. Ia dilahirkan di Tangier (Tanjy), Maroko, Afrika Utara, pada tanggal 24 Februari 1304 M (703 H) dan meninggal di Marakisy pada tahun 1369 M (770 H). Beliau merupakan keturunan dari keluarga yang menguasai dan ahli di bidang jurisprudensi Islam. Sehingga banyak dari keluarganya yang menjadi hakim, utamanya di tanah kelahirannya, Tangier. Ia adalah pengembara dari Afrika Utara yang dijuluki ‘Si Keturunan Barber’. Pada usianya yang relatif muda, Ibnu Bathuthah memulai masa pengembaraannya yang panjang, ia meninggalkan Tangier pada tanggal 14 Juni 1325 M (735 H).Ia telah mencatat segala yang dijumpainya dalam perjalanan selama hampir tiga dasawarsa. Ibnu Bathuthah tak bosan untuk merekam segala peristiwa dengan panca indranya, menulis perjalanan hidupnya ke dalam untaian sejarah dari berbagai belahan dunia. Pengalamannya merupakan mutu manikam khasanah umat Islam, sebagai peninggalan yang sangat berharga bagi generasi penerus. Selama kurang lebih 30 tahun ia melakukan pengembaraan dengan jarak tempuh sejauh 75 ribu mil, inilah sebuah rekor yang sangat istimewa pada zaman itu. Ia lebih hebat dibanding pelancong-pelancong kenamaan seperti Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake,dan Magellan. Ibnu Bathuthah memang termasuk yang terbesar dari pengembara-pengembara muslim.
ia termasuk pengembara terbesar sepanjang sejarah penjelajahan ummat manusia di planet bumi ini, dibenarkan oleh seorang penulis barat George Sarton, dimana ia mengutip tulisan Sir Henry Yules (1820-1889 M). Ibnu Bathuthah telah mengunjungi hampir seluruh tanah Islam. Dan kehadirannya bukan sekedar menjadi penonton, karena Ibnu Bathuthah juga senantiasa mendiskusikan perkembangan dakwah Islam dengan pemimpin-pemimpin yang dijumpainya.
Pengalaman langsung Ibnu Bathuthah menjadi sangat kaya setelah ia hadir di Afrika Tengah, Afrika Utara, sebagaian Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan terus ke timur hingga Asia Tenggara dan Timur Jauh. Hingga saat inipun jarang orang bisa melakukannya. Ia memang sejak mula bercita-cita untuk bisa menjalin persaudaraan secara luas dengan semua lapisan masyarakat. Cita-citanya itu menjadi kenyataan setelah ia bisa melebur di tengah rakyat kecil dari berbagai penjuru dunia, hadir di antara para pengemis dan gelandangan, namun juga bisa berdiskusi denga para pendongeng, kalangan pedagang, pejabat kerajaan, hingga dengan para khalifah. Ia juga telah mengalami riuh rendahnya pesta dari yang ala penginapan sampai yang bergaya istana. Tidurnya, mulai yang beralas tikar sampai berlapis beludru istana yang bermandikan bunga-bunga. Itulah pengalaman yang tak mungkin terulang kembali.
KISAH PERJALANAN
Pendidikan agama dan sastra didapatkan dari lingkungan keluarga yang taat menjakankan syari’at. Disamping ia juga mempelajari dan mengembangkannya sendiri secara otodidak. Dari pemahamannya terhadap ajaran Islam inilah, akhirnya ia terdorong untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ke tanah suci di Makkah Al Mukarramah, yakni pada 14 Juni 1325 M bertepatan dengan umurnya yang memasuki usia 21 tahun, inilah awal perjalanannya.
Diseberanginya Tunisia dan hampir seluruh perjalannya ditempuh dengan berjalan kaki. Ia tiba di Alexandria pada 15 April 1326 M dan mendapat bantuan dari Sultan Mesir berupa hadiah dan uang untuk bekal menuju Tanah Suci. Menurut Ibnu Bathuthah, Alexandria adalah sebuah pelabuhan yang berkembang dan merupakan pusat perdagangan serta pusat angkatan laut di daerah Laut Tengah (Mediterrania) bagian timur. Di negeri Seribu Menara ini, ia diterima oleh Sultan Mesir, dan memberinya sejumlah hadiah dan uang untuk bekal perjalanan berikutnya. Perjalanan ia lanjutkan melalui Kairo dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.
Ia kembali ke Kairo dan melanjutkan perjalanan ke Makkah melalui Gaza, Yerussalem, Hammah, Aleppo, dan Damaskus, Syiria. Ia tiba di Makkah pada bulan Oktober 1926. Selama di Makkah3 ini Ibnu Bathuthah bertemu dengan jama’ah haji dari berbagai negara. Karena pengalaman perjalanannya ke tanah suci yang menyenangkan dan pertemuan dengan jama’ah haji, Ibnu Bathuthah terdorong untuk mengenal langsung negara-negara asal jama’ah tersebut. Ia batalkan kepulangannya dan ia pun memulai pengembaraan untuk menjelajahi dunia. Maka sehabis ber-“Konferensi Akbar Tahunan” itu ia tidak kembali ke barat, melainkan ke timur, masuk Irak dan Iran. Perjalanan itu tak kalah beratnya, karena ia harus mengalahkan gurun pasir Arabia terlebih dahulu. Pada musim haji tahun berikutnya Bathuthah kembali ke Damaskus dan melanjutkan ke Mosul, India. Setelah itu ia hadir lagi di Makkah, dan menetap di Tanah Suci selama 3 tahun, antara tahun 1327-1330 M.
Dalam usia yang masih penuh semangat membara sehabis belajar di Makkah, ia memutuskan untuk menyeberangi laut Hitam. Maka kemudian ia melanjutkan pengembaraannya ke Aden (Yaman) dan berlayar ke Somalia, kemudian ia teruskan ke pantai timur Afrika termasuk Zeila dan Mambasa. Ia baru kembali ke Aden setelah menginjakkan kaki di Tanzania. Dari Aden yang kedua kali, ia melanjutkan perjalanan ke timur, menembus Oman, Hormuz (Teluk Parsai), dan Pulau Dahrain.
Untuk sementara pengembaraan dihentikannya, karena ia ingin menunaikan ibadah haji (1332 M) yang ketiga. Baru setelah itu ia menyeberangi Laut Merah, berkelana melewati Nubia, Nil Hulu, Iskandaria, Damaskus, dan tiba di Lhandhiqiya lalu berlayar dengan sebuah kapal Genoa ke Alaya (Candelor) di pantai selatan Asia kecil.
Pada tahun 1333 M, laki-laki gagah perkasa itu memutuskan untuk melakukan perjalanan darat di jazirah Anatolia. Sesampainya di pelabuhan Sanub, yakni sebuah pelabuhan di Laut Hitam, pengembaraannya dilanjutkan dengan menumpang sebuah kapal berbendera Yunani untuk menuju Caffa, dan menyeberangi laut Azow hingga ke stepa-stepa di Rusia selatan. Bahkan ia menyempatkan diri utuk bersilaturahmi ke istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan, yang terletak di tepi sungai Volga dengan ibu kotanya Serai. Konon kerjaan Sultan ini memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas yang membentang antara Eropa hingga Asia.
Ia juga meneruskan perjalanannya ke wilayah Siberia. Disini ia mendapatkan pengalaman yang hanya sekali dalam seumur hidupnya, yaitu tatkala ia terjebak oleh iklim udara yang sangat dingin. Karena tidak betah dengan hawa yang terlalu dingin itu, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Balghar.
Rupanya Allah menentukan lain. Setibanya di Balghar, Sultan Muhammad Uzbeg Khan mempercayainya dan mengangkatnya menjadi pengawal permaisurinya, Khantun Pylon, ketika hendak pulang menjenguk kedua orang tuanya di Konstantinopel. Kemudian Raja Byzantium, Audronicas III (1328-1341M) memberinya seekor kuda, pelana, dan sebuah payung.
Setelah tugasnya selesai ia berpamitan pada Sultan Muhammad Uzbeg Khan, dengan mengutarakan maksudnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Bukhara. Ia tertarik ke Bukhara disebabkan di kota inilah ilmu pengetahuan Islam berkembang dengan pesat. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia melakukan perjalanan dengan terlebih dahulu menaklukkan stepa kering dalam kondisi musim dingin. Akhirnya ia bisa mencapai Afghanistan dan beristirahat di Kabul, ibukota Afghanistan.
Perjalanannya dilanjutkan ke India, yang pada saat itu di perintah oleh Gubernur Muhammad Tughlaq, dengan ibukotanya Multan. Untuk sampai disana terlebih dahulu ia harus menaklukkan banyaknya kelokan yang berada di sungai Sind dan melewati beberapa kota seperti Siwasitan, Lahari, Bakkar, Uja, Khusrawabat, Abohar, dan Ajudhan. Ia bercerita, “Perjalanan kami dua hari untuk sampai di Janani, sebuah kota besar yang indah yang berada di tebing sungai Sind (India). Dari Janani kami berjalan menuju Siwasitan, sebuah kota di tengah gurun pasir luas. Tak ada tetumbuhan kecuali pohon labu. Makanan penduduknya sorgum dan kacang polong yang telah dibuat roti. Disamping ikan dan susu kerbau, mereka juga makan sejenis kadal yang telah diawetkan dengan kurkum. Saya tertarik, saya mencobanya untuk makan, tapi saya jijik. Saat di Siwasitan berbarengan dengan musim panas. Aduh, panasnya luar biasa.”
Setibanya di Delhi ia juga mencatat peristiwa langka. Ia diangkat mejadi Qodhi oleh Sultan dan menetap di sana selama 8 tahun, lalu diangkat menjadi duta besar di kerajaan Cina. Dimulailah pengembaraannya ke Cina dengan melalui Bombay, Aligarh, dan Calcutta. Tapi sayang, disamping bekalnya habis dirampok oleh penyamun, kapalnya tenggelam dalam perjalanannya menuju Calcutta.
Dalam kondisi yang kurang menguntungkan itu, ia memilih untuk tidak kembali ke Delhi, melainkan bergabung untuk melakukan penaklukan atas Goa. Setelah berhasil ia lalu mengunjungi Maladewa. Di Maladewa ia diangkat menjadi Qodhi dan sempat pula mengawini empat wanita penduduk asli Maladewa.
SINGGAH DI SUMATRA
Pada tahun 1344 M ia mengunjungi Srilangka, kemudian berlayar ke timur menuju Chittagong dan Dakka (Bangladesh), lalu ke Aceh di ujung Sumatera. Diceritakannya, bahwa beliau dijemput di pelabuhan Samudra oleh Al Isfahany, Menteri Luar Negeri Kerajaan Sanudra Pasai (menurut namanya, Al Isfahany adalah keturunan Persi-Republik Islam Iran sekarang).
“Saya telah berjumpa dengan Al Isfahany beberapa bulan yang lalu, waktu kami sama-sama berada di Kerajaan Acra, anak Benua India,” demikian tulis Ibnu Bathuthah kala itu. Saat itu yang menjadi Sultan Kerajaan Samudra Pasai adalah Raja Ahmad yang bergelar Al Malik Ad Dhahir II, beliau adalah pemimpin Kerajaan Samudra Pasai ketiga yang berkuasa pada tahun 1326 hingga 1348.
Menurut kebiasaan Sultan bahwa tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadapnya tiga hari setelah tiba, agar letihnya perjalanan menjadi hilang. Beliau ditempatkan dalam Bait Adh Dhuyuf (wisma tamu) yang terletak di tengah-tengah taman yang rindang, dengan pohon-pohon nampak berdaun hijau dan bunga-bunga aneka rupa.
Para pelayan di wisma tamu itu teriri dari anak-anak muda yang peramah. Kecuali nasi dan roti semacam martabak, beliau dihidangkan aneka buah-buahan, seperti pisang, apel, anggur, rambutan dan sebaginya. Hari keempat Ibnu Bathuthah istirahat di wisma tamu yang mewah itu, kebetulan hari Jum’at. Menteri Luar Negeri Al Isfahany memberitahu, bahwa beliau akan diterima menghadap Sultan setelah Shalat Jum’at, bertempat di Aula khusus Masjid Jami’ itu.
Beliau memperhatikan, yang mana Al Malik Adh Dhahir diantara ribuan Jama’ah Masjid Jami’ yang luas itu. Semua orang sama, berpakaian putih. Juga tidak tersedia tempat khusus bagi Sultan dan tidak ada orang yang diberi penghormatan seperti layaknya para raja di zaman itu. “Apakah Sultan sakit sehingga tidak ke Masjid ?” tanya Ibnu Bathuthah dalam hati. Setelah selasai shalat Jum’at, Al Isfahany mempersilahkan Ibnu Bathuthah memasuki Aula Masjid yangkuas itu, dan beliau diperkenalkan kepada Al Malik Ad Dhahir yang telah terlebih dahulu masuk Aula, dan masih berpakaian baju putih. Di dalam aula yang berwibawa itu, telah berada para menteri, para ulama terkemuka, para pemimpin rakyat, dan para wanita yang memakai jilbab. Ibnu Bathuthah didudukkan di sebelah kanan Sultan. Selesai makan siang bersama, dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai masalah dalam negeri dan agama, juga masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya.
Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu sangat menarik. Semula yang hadir mengemukakan pendapatnya masing-masing, sekalipun kadang-kadang mengkritik kebijaksanaan Sultan. Semua pendapat diterima Sultan dengan senyum yang sejuk, demikian tulis Ibnu Bathuthah. Setelah waktu shalat Ashar, semua kembali ke ruang Masjid dan sama-sama melakukan shalat. Usai shalat Ashar, Al Malik Ad Dhahir menghilang ke dalam satu bilik khusus, dan 15 menit kemudian beliau keluar sudah bukan dengan pakaian putih lagi. Tetapi denga pakaian kebesaran raja. Dengan menunggang kuda dan diiringi para pengawalnya, Sultan pulang ke istana. Dan di kiri-kanan jalan dielu-elukan rakyat yang rindu melihat Sultan yang adil itu.
Bathuthah menulis, rupanya waktu berangkat dari istana menuju Masjid, Al Malik Ad Dhahir hanya hamba Allah yang biasa seperti rakyat lainnya, tetapi waktu pukang ke istana barulah beliau tampil sebagai Sultan dari kerajaan Samudra Pasai. Bathuthah mendapati bahwa kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang berdiri di dunia Melayu, telah mempunyai tamaddun (peradaban), dan hubungan luar negeri; tidak seperti kerajaan Islam Perlak yang diproklamirkan pada tangga 1 Muharram 225 H (sekitar pertengahan abad IX M), yang lahir setelah hampir lebih 50 tahun Islam bertapak di Nusantara.
Di Aceh ia tinggal selama 15 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina melalui Malaysia. Di Indocina, Bathuthah mendarat di Amoy. Selama di Cina ia melakukan kunjungan ke Zaitun, sebuah pelabuhan terbesar kala itu. Dalam perja;anan pulang dari Cina, ia memilih jalur lewat Sumatra, Bathuthah singgah untuk yang kedua kalinya di Samudra Pasai. Pada waktu itu, kebetulan Sultan Al Malik Ad Dhahir sedang bersiap-siap mengadakan pesta besar untuk meresmikan pernikahan putrinya.
Ibnu Bathuthah mendapat kehormatan diundang untuk menyaksikan pesta perkawinan yang agung itu. Ia melihat ruang pangantin pelaminannya demikian cemerlang, dilangkapi dengan kain-kain beludru bersulamkan benang emas yang kemilau. Ia juga menyaksikan upacara adat yang agung, mulai malam berinai, yang pada malam ketiga disudahi denga tadarus Al Qur’an Al Karim, da dimulai oleh merapulai (pengantin wanita). Bathuthah juga menyaksikan upacara tepung tawar, yang dalam bahasa adat Aceh disebut Peusijuk. Pada upacara ini kedua pengantin baru saling menyaupkan nasi kuning, lambang keberkatan.Upacara terakhir adalah pengantin lelaki dibimbing oleh Nyak Pengayo (pendamping wanita setengah baya) untuk menginjak telur mentah, lambang yang mengisyaratkan agar bibit pengantin lelaki segera menetas ke dalam pengantin wanita, yang kemudian menghasilkan keturunan.
MELANJUTKAN PERJALANAN
Lalu ia melanjutkan perjalanan lewat Malabar, Bombay, Oman. Kemudian dengan perjalanan darat ia memotong jalur dari Irak ke Suriah menyeberangi padang pasir Palmyra. Pada tahun 1348 M ia menunaikan ibadah hajjinya yang keempat. Sekembalinya dari Makkah, ia melakukan perjalanan lewat Yerussalem, Gaza, Kairo, Tunis, Marakesh untuk mengujungi Dardinia. Akhirnya ia tiba di Fez, ibukota Maroko saat itu, pada tanggal 8 Nopember 1349 M, setelah berkelana hampir 24 tahun.
Pada tahun 1352 M ia menyeberangi gurun pasir sahara untuk menuju Eropa. Ia singgah di Spanyol, Romawi Timur, dan Rusia Selatan (sekarang sekitar Ukraina). Tak lupa ia juga melihat keindahan Laut Tengah dan Laut Hitam. Atas rahmat dan lindungan Allah, sekitar pertengahan tahun 1354 M ia bisa menginjakkan kembali kakinya di bumi tempat dilahirkan dulu, Tangiers. Ia menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Sekembalinya ke Maghrib, cerita dan catatan perjalanannya menjadi populer. Karenanya tak mengherankan jika penguasa Marini (Maroko), Abu Inan, tertarik akan hasil penuturan perjalanan tersebut, dan akhirnya memerintahkan penulis terkenal Ibnu Juza’i untuk membukukannya. Untuk pembukuan ini Ibnu Juza’i mendengarkan penuturan Ibnu Bathuthah terutama berdasarkan catatan yang dimilikinya. Namun tidak jarang Ibnu Bathuthah menuturkan beberapa pengamatannya berdasarkan ingatan saja, terutama apabila catatannya mengenai hal itu tercecer atau hilang. Penuturan ini diselesaikan pada 1355 (756 H).
Yang mengherankan, perjalanan dengan medan begitu sulit itu ditempuhnya sendirian. Artinya ia tidak punya rombongan khusus yang mengawalnya dan membantu mengatasi berbagai masalah. Sementara, karena saat itu belum ada mesin uap (kendaraan), perjalanan selain lambat juga beresiko sangat tinggi.
Kisah perjalanan itu di tuangkannya dalam kitab:
تحفة النظار في غرائب الأمصاروعجائب الأسفار
Tuhfatun Nadhdhaar fii Gharaaibul Amshaar wa ‘Ajaaibul Asfaar (Hadiah Pengamat, yang meneliti Keajaiban-Keajaiban kota dan Keanehan-Keanehan Perjalanan). Kini kitab itu telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Latin, Portugis, Jerman, dan Persia.

Read More..