Selasa, 13 Juli 2010

MENIKAH DENGAN WANITA HAMIL

MUQODIMAH
Kasus hamil diluar nikah sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat kita, sudah menjadi sebuah menu utama disetiap berita. Nah………..! jurus pamungkas yang sering digunakan para pelaku untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang justru menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan yaitu dia menikahi wanita yang hamil tadi. Bila seorang laki-laki menghamili wanita, kemudian dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah……….? dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita simak pembahasannya !!
MENIKAH DENGAN WANITA HAMIL
Sebelum kita membahas permasalahan menikah dengan wanita hamil, perlu kita ketahui terlebih dahulu permasalan seputar menikah dengan wanita pezina, atau laki-laki pezina.
Dalam masalah ini, secara umum kebanyakan para sahabat dan fuqoha’ membolehkan
seseorang menikahi wanita pezina diantaranya Ibnu Abbas t , Ibnu Mas’ud t , Jabir bin Abdillah, Qotadah, Ibnul Musayyib, Abu bakar, Said bin Jabir, Ahmad, Ishaq, Umar bin Khottob, dan Abdulloh bin Umar, mereka memberikan syarat kepada yang bersangkutan untuk bertaubat dan harus membenahi dirinya. Imam Syafi’i. Imam An Nawawi mengatakan : “Jika ada seseorang telah berzina dengan salah seorang wanita, maka tidak diharamkan ia menikahinya, berdasarkan firman Allah I dalam surat An Nisa’ : 3 yang berbunyi :

وَأُحِلَّ لَكُم مَّاوَرَآءَ ذَالِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“…..Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina…...” (Q.S. An Nisa’ : 24)
Sedangkan diantara para sahabat yang mengharamkan menikahi seorang wanita pezina yaitu Ali bin Abi Thollib t sebagaimana perkataan beliau : “Selamanya seorang wanita pezina itu haram, dan tidak boleh menikahinya baik dalam keadaan apapun.”
Sedangkan yang menjadi perselisihan diantara para ulama fiqh {fuqoha'} adalah menikah dengan wanita yang sedang hamil.
Melarang menikah dengan wanita hamil. Ini pendapat Abu Yusuf dan yafar.
Dia berkata," tidak boleh mengadakan akad nikah dengan wanita yang sedang hamil dikarenakan zina, karena orang yang sedang hamil dilarang untuk berhubungan badan, sama dengan larangan untuk mengadakan akad nikah, dan juga seperti larangan menikah dengan senasab.

Boleh menikah dengan wanita hamil tetapi dengan beberapa syarat.
Malikiyah berkata," tidak boleh menikah dengan mengadakan akad nikah dengan wanita pezina harus beristibro' dari perbuatan zina yaitu dengan haidh tiga kali atau menunggu sampai tiga bulan {kalau tidak hamil}, jika dia mengadakan akad nikah sebelum waktunya maka akadnya rusak alias tidak sah, baik dalam keadaan hamil atau tidak. Dia berdalih dengan sabda Rosululloh r yang artinya," maka tidak selayaknya menyiramkan air mani ketanaman orang lain.

Hanabilah berkata," jika seorang wanita berzina dengan seorang lelaki, maka toidaklah halal orang yang mengetahui untuk menikahinya, kecuali dengan dua syarat.

Syarat pertama: sudah habis masa iddahnya, jika hamil disebabkan perbuatan zina tadi maka iddahnya sampai ia melahirkan dan tidak halal untuk menikahinya, imam malik dan abu yusuf berkata demikian. Dan ini salah satu riwayat dari Abu Hanifah. Mereka menyandarkan hadits Rosululloh r yang berbunyi,"
قال النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ كَانَ يُؤْ من بالله وَاليَوْم الآخر، فَلاَ يَسْقي مَاءَهُ زَرْعَ غَيْره.
artinya," barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari qiamat, maka tidak selayaknya menyiramkan airnya ketanaman orang lain {HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad }
Maksud dari menyiram air ketanaman orang lain adalah menyutubuhi ketika dalam keadaan hamil. Begitu juga dengan sabda Nabi r قَال َالنَبيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ تُوطَأُ حَاملٌ حَتَى تَضَعَ.
Artinya," Rosululloh r bersabda : wanita yang hamil tidak boleh dinikahi sampai melahirkan.{ shohih HR muslim, Abu Daud, An-nasai }

Syarat kedua: Hendaknya perempuan tadi harus benar-benar bertaubat dari perbuatan zina {perzinaan }.
Seperti yang dikatakan oleh Qotadah, Ishaq, Abu ‘Ibaid, mereka bersandarkan firman Alloh U dalam surat An-Nur ayat 3
الزَّانِي لاَيَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya," pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali denga pezina perempuan, atau dengan perempuan musyik, dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan dengan laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. { QS An-Nuur : 3 }
Maksud ayat diatas adalah : Seorang pezina itu sebelum bertaubat haram dinikahi oleh orang yang beriman dan dan jika dia sudah bertaubat maka halal untuk dinikahi, seperti sabda Nabi r
التائب من الذنب كما لا ذنب له
Artinya,"orang yang bertaubat dari dosa itu ibarat orang yang tiak mempunyai dosa lagi{HR Ibnu Majah }
Ibnu Taimiyah dalam majmu' fatawanya, dia berkata," nikah dengan wanita yang berzina hukumnya haram sampai dia itu bertaubat, baik dinikai dengan laki-laki yang menzinai tadi atau dengan laki-laki lain. Ini pendapat benar tanpa diragukan menurut ulama salaf dan kholaf.
Selain itu para sahabat dan fuqoha juga banyak yang menzyaratkan harus taubat terdahuku seperti : Ibnu Mas’ud t, jabir bin Abdillah, Qotadah, Ibnul Musayyib, Sa’id bin Jabir.
Ada juga sebagian ulama{malik dan Ahmad } yang mensyaratkan wanita yang hamil itu boleh dinikahi adalah dia harus beristibro' {mengkosongkan rahim } dengan satu kali haid, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya, dan riwayat yang lainnya yang pendapat itu diikuti banyak sahabat diantaranya Qodhi Abu ya'la, harus tiga kali haid.
Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan,"Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menunggu wanita itu beristibra? dengan satu kali haid sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain
Pendapat yang paling rojih adalah pendapat yang membolehkan menikah dengan wanita yang sedang hamil akan tetapi harus memenuhi criteria syarat diatas. Pendapat ini juga dikuatkan lagi dengan hadits Rosululloh r artinya," Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : Artinya,"Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid. .

Di dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haid ada yang mengatakan tiga kali haid, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra? terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi.

STATUS ANAK HASIL HUBUNGAN DILUAR NIKAH
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi'i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam artian dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak terebut tidak berbapak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya," Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan}
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
· Anak itu tidak berbapak.
· Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
· Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim,karena dia itu tidak memiliki wali
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya," Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali. {Hadits hasan Riwayat Asy Syafi'iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.}

REFERENSI
al-qur'an terjemah
shohih figh sunnah, Abu Malik Kamal sayyid As-Salim
Al Majmu’ Syarh Muhadzab. Imam An Nawawi
Al Mughni. Ibnu Qudamah
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
Minhajul Muslim, Abdurrahman al-jazairi
Majallah Al Buhuts Al Islamiyyah
Al-aziz Asy Syarhul Kabir
Al-fiqhu al islamiy wa Adilatuhu, Dr Wahbah Az-Zuhailiy
Al-Kafi, Abu Muhammad mufafiquddin Abdulloh bin Qudamah al maqdisi
Nihayatul Muhtaj, Syamsudin Muhammad bin Abi Abbas ahmad bin Hamzah bin Shihabuddin ar romli, terkenal dengan nama Imam syafi'i kecil.
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul muqtasid, Ibnu Rusd.
Zadd Ma'ad, Ibnu Qiyyim Al-Jauziyah.
Al-ibid
Oleh: el-kholis el-ghozy

0 komentar:

Posting Komentar