Rabu, 14 Juli 2010

Laa Ikroohaa Fieddien

Laa Ikroohaa Fieddiennnn, yang berarti tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Baqoroh: 256, sangat sering sekali dijadikan dalih akan kebebasan dalam beragama, adanya toleransi agama, saling menghormati, tidak memaksakan kehendak dalam keyakinan dan yang semisal dengannya.

Banyaknya orang yang mengaku sebagai cendekiawan muslim, justru hanya menebarkan keraguan di tengah masyarakat Islam. Adanya keyakinan masyarakat akan kebenaran dienul Islam dan kewajiban untuk mendakwahkannya, akan menjadi punah disebabkan oleh keraguan tadi. Maka untuk menepis keraguan tadi perlu kita teliti kembali apa yang dimaksudkan ayat tersebut, yang tentunya dengan melihat kembali bagaimana ulama mensikapinya.

Menurut Al-Baidhowy (Tafsir Baidhowy:1/557) kata “laa ikrooha” sebenarnya lebih kepada arti pemaksaan untuk melakukan sesuatu yang tidak ada kebaikan di dalamnya. Padahal sudah jelas perbedaan antara keimanan dan kekafiran. Keimanan merupakan petunjuk yang akan menyampaikan kepada kebahagiaan yang kekal, adapun kekafiran kesesatan yang menuju kepada kecelakaan. Seorang yang berakal akan segera mengikuti petunjuk ketika ia datang, karena menginginkan keselamatan dan keberuntungan dan sangat tidak membutuhkan paksaan atas hal demikian.

Dalam mensikapi ayat tersebut, yang bunyi lengkap ayat tersebut sebagai berikut:
"لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ"
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa ingkar kepada thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha Mengetahui”. Qs. Al-Baqoroh: 256

Alqurthubi diantaranya menjelaskan (Al-Jami’ liahkaamul qur’an 3/280), para ulama telah berselisih pendapat mengenai arti dari ayat di atas: Pertama, bahwa ayat tersebut telah terhapus, karena Nabi saw telah memaksa penduduk Arab memeluk Islam. Dan sakali-kali tidak rela kecuali hanya Islam saja. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sulaiman bin Musa, bahwa ia telah dihapus dengan turunnya ayat,”Wahai Nabi, perangilah orang-orang Kafir dan Munafiq”. Pendapat pertama ini telah dibawakan oleh Ibnu Mas’ud dan banyak dari kalangan Ahli Tafsir.

Kedua, Ayat tersebut tidak dihapus, melainkan ayat itu turun terkhusus untuk kalangan Ahli Kitab. Mereka tidak akan dipaksa masuk Islam bila membayar Jizyah. Adapun para penyembah berhala, tidak ada pilihan lain kecuali Islam. Dan mereka inilah yang dimaksud oleh ayat tadi,” Wahai Nabi, perangilah orang-orang Kafir dan Munafiq”. Pendapat ini telah dikatakan oleh Asy-Sya’bi, Qotadah, Al-Hasan, dan Dihaq. Adapun alasannya adalah sebuat hadits yang telah diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dari ayahnya ia telah berkata, aku telah mendengar Umar bin Khottob ra. Berkata kepada seorang nenek Nasroni,” masuklah engkau ke dalam Islam tentu akan selamat, Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran”. Si nenek Menjawab,”saya sudah tua renta, kematian pun sudah dekat”. Maka Umar pun berkata,”Yaa Allah saksikanlah”. Dan Ia membacakan ayat,”laa Ikrooha Fieddien”.

Ketiga, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas ia berkata,”ayat ini turun atas kaum Anshor. Suatu ketika ada seorang wanita yang tidak memiliki anak, lalu dia berjanji bila dia dikaruniai anak akan ia yahudikan. Maka ketika penduduk Banu Nadhir diusir, di dalamnya ada dari kalangan Anshor, mereka mengatakan,”kami tidak akan meninggalkan anak-anak kami”. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat tersebut.

Keempat, menurut As-Sady, ayat ini telah turun berkenaan dengan seorang Anshor yang bernama Abu Husain. Dia memiliki dua orang anak laki-laki. Ketika serombongan pedagang datang dari Syam menuju Madinah dengan membawa minyak. Ketika mereka hendak berangkat, mendadak keduanya mendatangi mereka, mereka pun mengajaknya memeluk agama nasroni, sehingga ia pun masuk agama Nasroni dan berlalu bersama mereka menuju Syam. Melihat kenyataan demikian sang Ayah pun mendatangi Rosulullah saw dengan mengutarakan permasalahannya, ia mengharapkan Rosulullah saw agar Rosulullah saw mengutus seseorang mengembalikan dua anaknya itu. Maka turunlah ayat tersebut. Pada waktu itu Rosulullah saw belum diperintahkan untuk memerangi Ahli Kitab. Dan Rosulullah saw berkata,”semoga Allah menjauhkan keduanya, keduanya termasuk mereka – mereka yang pertama kali kafir. Kekecewaan Abu Husain kepada Rosulullah saw muncul ketika tidak dikabulkannya permintaan tersebut. Lalu Allah menurunkan ayat,” Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” An-Nisa : 65.
Maka ayat diatas telah menghapus ayat laa ikrooha fieddien, yang kemudian diperintahkan memerangi Ahlu Kitab sebagaimana tertera dalam surat Al-baro’ah.

Kelima, tidak ada paksaan bagi yang sudah menyerah di bawah pedang untuk memeluk Islam. Yang bisa jadi pilihan diaadalah membayar jizyah kepada kaum muslimien.

Menurut Al-Baidhowy (Tafsir Baidhowy:1/557), Ayat di atas merupakan berita yang menyimpan makna larangan. Tapi ayat tersebut hanya ada dua kemungkinan saja; bisa jadi mengandung arti Amm yang telah dihapus oleh firman Allah,”…perangilah orang-orang kafir dan munafiqien…” bisa jadi mengandung arti Khoss kepada Ahli Kitab. Yang dalam tafsir As-son’any 1/102 dikatakan, bila mereka telah tunduk kepada kekuasaan Islam sehingga membayar jizyah.

0 komentar:

Posting Komentar